umrah expo

Batas Gramasi Kepemilikan Narkotika sebagai Penyalah Guna Dalam SEMA 04/2010 Diuji

Batas  Gramasi Kepemilikan Narkotika sebagai Penyalah Guna Dalam SEMA 04/2010 Diuji

Advokat Singgih Tomi Gumilang mendaftarkan gugatan di Mahkamah Agung.-Istimewa-

JAKARTA, MEMORANDUM.CO.ID - Seorang  pemuda asal  Bali, Agung,  secara  resmi  mengajukan  permohonan  uji  materiil  terhadap  Surat  Edaran  Mahkamah  Agung  (SEMA)  Nomor  04  Tahun  2010,  yang  selama  ini  menjadi  rujukan  kuantitatif  dalam  perkara  narkotika. 

BACA JUGA:Ketidakpastian Hukum di Meja MK: Perdebatan Panas Pasal KUHAP yang Mengguncang! 

Pemohon  menggugat  legalitas  angka  batas  gramasi  narkotika,  bagi penyalah guna khususnya  ganja  lima  gram,  yang  dijadikan  penentu  apakah  seseorang  berhak  direhabilitasi  atau  justru  dipidana  penjara.


Mini Kidi-- 

Permohonan  ini  diajukan  ke  Mahkamah  Agung  secara  probono  oleh  tim  advokat dari SITOMGUM Law Firm, dengan  argumentasi bahwa  SEMA 04/2010  telah  melampaui  kewenangan  hukum, dan  bertentangan  dengan  Pasal  4  huruf  d  UURI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,  yang  secara  eksplisit  menjamin  rehabilitasi  medis  dan  sosial  bagi  penyalahguna  dan  pecandu  narkotika.

“Saat  seseorang  ditangkap  dengan  5,94 gram  ganja,  ia  langsung  dikualifikasikan  seolah  sebagai  pengedar,  tanpa  mempertimbangkan  hasil  asesmen  ketergantungan,”  ujar  Singgih  Tomi  Gumilang,  kuasa  hukum  pemohon seperti rilis yang diterima memorandum.co.id, Rabu 16 Juli 2025.

BACA JUGA:Kasus Administrasi Surat Dakwaan di Mahkamah Konstitusi: Tim SIBAKUM Ungkap Ketidakpastian Hukum 

“Padahal  hasil  Tim  Asesmen  Terpadu  Provinsi  Bali  menyatakan  klien  kami  adalah  pecandu  aktif,  dan  UU Narkotika  secara  tegas  mengamanatkan  rehabilitasi,  bukan  pemenjaraan,” tambah Singgih Tomi Gumilang.

SEMA 04/2010  dinilai  menetapkan  “norma  terselubung”  tanpa  dasar  ilmiah  dan  kewenangan  legislasi,  yang  secara  de  facto  telah  membatasi  kewenangan  hakim  dan  hak  konstitusional tersangka /terdakwa  narkotika.

BACA JUGA:Eksepsi Tidak Diterima, Terdakwa Penyalahguna Ganja bagi Diri Sendiri Ajukan Uji Materiil ke MK 

Rudhy  Wedhasmara,  advokat  lainnya,  menambahkan, surat  edaran  ini  telah  menjadi  proxy  law  yang  digunakan  secara  rigid,  melumpuhkan  prinsip  rehabilitative  justice. 


Advokat Singgih Tomi Gumilang bersama Anang Iskandar, ahli hukum narkotika yang juga mantan mantan Kepala BNN. -Istimewa-

“Ini  berbahaya  bagi  siapa  pun  yang  membutuhkan  perawatan,  bukan  hukuman,” ujar Rudhy  Wedhasmara.

BACA JUGA:Koalisi CBD et al. Indonesia Ajukan Policy Brief Reklasifikasi CBD kepada DPR dan Pemerintah 

Sementara itu, Anang Iskandar, ahli hukum narkotika yang juga mantan Kepala BNN, menilai penggunaan  pendekatan  gramasi adalah paradigma represif. 

“Hukum  narkotika  itu  menggunakan pendekatan kesehatan dan pidana khusus  dengan  semangat membangun kesehatan publik. Rehabilitasi  adalah  bentuk  pidana  juga,  tetapi  berbasis  penyelamatan.  Tidak semua  dikurung,”  tegasnya.

Permohonan  ini  diharapkan  dapat  menjadi  momentum  korektif  terhadap  pendekatan  hukum  yang  tidak  lagi  sejalan  dengan  prinsip  hak  asasi  manusia  dan  perlindungan  terhadap  korban  ketergantungan  narkotika. (*/fer)

Sumber: