umrah expo

Kursi Kosong PDI-P Bikin Panas Dingin Politisi

Kursi Kosong PDI-P Bikin Panas Dingin Politisi

--

Sujatmiko

Wartawan Memorandum

Kursi Ketua DPC PDI-P Surabaya saat ini kosong. Tapi jangan bayangkan itu hanya sekadar kursi yang tinggal diduduki. Ini kursi istimewa, empuk, strategis, dan bisa membuka banyak pintu: kekuasaan, pengaruh, bahkan peluang membangun dinasti politik.

Sejak pencopotan Adi Sutarwijono, aroma perebutan kekuasaan langsung terasa. Internal partai mulai gelisah, para pengamat sibuk menafsir, dan para pemburu posisi mulai menyusun strategi.

Meski Adi sudah dicopot, namanya belum selesai dibicarakan. Kini muncul babak baru: Ketua PAC Tambaksari, Arif Wirawan, dilaporkan ke polisi atas dugaan penipuan dan penggelapan. Ia dituduh menjanjikan pekerjaan kepada anak pelapor, namun janji itu tak ditepati. Uang Rp100 juta pun raib. Dugaan kriminalisasi pun bermunculan—apakah ini murni kasus pribadi, atau ada aroma politik di baliknya? Belum jelas.

Bisa saja kasus ini berkaitan dengan dinamika internal partai, mungkin karena yang bersangkutan tak sejalan dengan arus utama. Tapi bisa juga tidak. Dalam politik, semua kemungkinan terbuka.

Perlu diingat, posisi Ketua DPC bukan sekadar jabatan struktural. Ini adalah semacam “tahta” lokal di kota terbesar kedua di Indonesia. Wajar jika mulai banyak manuver dan kasak-kusuk. Siapa pun yang duduk di sana, memegang kunci untuk mengatur ritme politik Surabaya.

Nama-nama calon pun mulai bermunculan: Eri Cahyadi, Armuji, Fuad Bernardi, hingga Arjuna Rizki Krisnayana. Menariknya, beberapa di antaranya membawa embel-embel familiar: “anak dari,” “putra mantan,” atau “orang dekat dengan…” Rasanya seperti audisi terbuka untuk melanjutkan dinasti politik lokal.

Tapi tenang, di republik ini, dinasti politik bukan barang haram, asal dibungkus rapi dengan narasi pengabdian. Fenomena ini tentu bukan hal baru. Bahkan presiden sebelumnya pun pernah memberi contoh. Jadi kalau hari ini anak pejabat muncul sebagai kandidat, publik hanya tinggal disuguhi narasi: “melanjutkan perjuangan orang tua.” Dan ya, publik pun sudah terbiasa.

Sebagai partai langganan pemenang pemilu di Surabaya, PDI-P memegang tanggung jawab besar: menjaga stabilitas politik dan mempertahankan suara. Dan di tangan Ketua DPC-lah semua itu digerakkan. Ia bukan hanya pemimpin struktural, tapi juga sutradara lapangan yang menentukan siapa tampil, siapa diam, dan siapa cukup jadi penonton.

Tak heran jika kursi ini diperebutkan. Taruhannya bukan cuma siapa yang duduk, tapi juga siapa yang bisa mengatur siapa duduk di mana, dan siapa dapat apa. Karena pada akhirnya, politik adalah soal distribusi peran dan tentu saja, jatah.

Pertanyaannya: akankah kursi ini diisi oleh sosok ideologis yang sungguh berjuang untuk rakyat? Atau cukup oleh mereka yang lihai melobi, cakap bermanuver, dan pandai melempar senyum saat kamera menyala?

Yang jelas, siapa pun yang terpilih, ia tak hanya akan memegang kendali atas mesin partai, tapi juga membentuk wajah dan arah politik Surabaya ke depan. Maka publik dan kader wajib mengawasi, agar kursi penting ini tak jatuh ke tangan yang hanya pandai selfie, tapi miskin visi. (*)

Sumber:

Berita Terkait