Kembul Topeng #3: Joget Sepuh, Jejak Maestro, dan Nyala Tradisi
Gelaran Kembul Topeng #3 sebagai ajang reuni para maestro tari topeng.--
Tak hanya kampus, komunitas dan sanggar rakyat dari Jakarta, Cirebon, Indramayu, Majalengka, Jogja, Surakarta, Klaten, Jombang, Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi, Denpasar, hingga Pacitan juga turut serta. Fakta ini menegaskan bahwa topeng bukan sekadar tradisi lokal, melainkan bahasa budaya lintas wilayah, lintas generasi, dan lintas kelas sosial.
BACA JUGA:UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Mengabdi: Qaryah Thayyibah di Kampung Topeng Malang
Budayawan Surabaya, Dr. Arif Rofiq, dalam sambutannya menekankan urgensi dukungan negara. “Pemerintah seharusnya hadir menyaksikan pagelaran sanggar-sanggar topeng sebagai garda depan pelestari warisan budaya. Negara wajib mengambil peran dengan pembinaan dan dukungan dana abadi kebudayaan. Jika tidak, warisan budaya tak benda Indonesia berupa seni topeng perlahan akan musnah,” ujarnya.
Kembul Topeng #3 bukan sekadar festival, tetapi ruang perjumpaan antar generasi yang menyatukan maestro, akademisi, komunitas, dan masyarakat dalam semangat menjaga nyala tradisi. Dari Joget Sepuh hingga Puncak Nusantara, pesan yang disampaikan jelas, topeng adalah identitas, warisan, sekaligus jembatan menuju masa depan kebudayaan bangsa.
Di balik hiruk-pikuk zaman modern, seni topeng hadir sebagai cermin kehidupan: wajah-wajah kayu itu menyimpan pesan tentang kesadaran, pengendalian diri, kebaikan, sekaligus peringatan akan kelalaian. Dari topeng samba yang penuh semangat, hingga eling-eling yang mengajak manusia kembali sadar pada jati diri, semuanya adalah narasi simbolis perjalanan hidup manusia.
Kembul Topeng #3 mengajarkan bahwa melestarikan seni tradisi bukan sekadar menjaga benda atau pertunjukan, melainkan menjaga roh kebudayaan: roh yang memberi bangsa ini akar, sekaligus sayap untuk terbang menghadapi masa depan.
Sumber:



