Kebaya dan Peta Sosial Nusantara
Fatkhul Aziz--
Ada yang hadir tanpa suara, tapi menetap lama dalam ingatan: sebuah bentuk, sebuah siluet, sebuah lipatan. Kebaya, baru saja resmi diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda. Dari ruang sidang di Paraguay, kabar itu melayang menyeberangi benua, mendarat di tanah yang mengenalnya bukan sebagai kabar, melainkan sebagai napas.
Tapi, apa sebenarnya yang "diakui" itu? Bukan sekadar potongan kain dan benang. Bukan cuma pola sulam atau warna. UNESCO, dalam pernyataannya, menyebutnya sebagai "pakaian atas tradisional yang dikenakan perempuan Indonesia." Definisi itu, bagi kita, terdengar terlalu sederhana, seperti menyebut laut sebagai sekadar air yang asin.
BACA JUGA:Ambisi di Perahu Besar Milik Gusti Allah

Mini Kidi--
Kebaya adalah fragmen sejarah yang berjalan. Ia menyimpan denyut pergulatan identitas. Pada abad ke-15, ia mulai disebut-sebut, lahir dari percampuran pengaruh Tiongkok, India, Arab, dan lokal—sebuah mozaik Nusantara yang khas. Di masa kolonial, ia menjadi penanda; kebaya encim Peranakan berbeda dengan kebaya panjang Jawa, yang berbeda lagi dengan kebaya sutra Bali yang berani. Ia adalah peta sosial yang halus.
Lalu ia berubah, seperti segala sesuatu yang hidup. Soekarno mendaku kebaya dan konde sebagai simbol nasionalisme, tandingan bagi kebaratan. Ibu Kartini mengabadikannya dalam potret sebagai penanda budaya sekaligus batas yang ingin ia langkahi. Kebaya pernah dianggap kuno, lalu direbut kembali oleh tangan-tangan muda perancang busana, disandingkan dengan jeans, dipakai di kafe, menjadi statement tanpa kata.
BACA JUGA:Ketika Sekolah Menjadi Medan Laga
UNESCO, dalam dokumen nominasi bersama Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei, mencatat nilai-nilai yang melekat: alat pemersatu, penjaga keragaman, simbol perlawanan, hingga penopang ekonomi kreatif. Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebut, setidaknya 30% perajin kebaya adalah perempuan, menjaga mata rantai pengetahuan dari ibu ke anak perempuan. Ini bukan industri besar yang berderu, tapi ekonomi sunyi yang menghidupi.
Namun pengakuan dunia ini barulah sebuah koma, bukan titik. Seorang perajin di Lasem, Rembang, masih bergulat dengan naiknya harga benang sutra. Seorang penenun di Bali masih khawatir dengan minimnya regenerasi. Pengakuan UNESCO bukan tujuan akhir, melainkan panggilan untuk melindungi dan mengembangkan.
BACA JUGA:Negeri dalam Bayangan Banjir
Maka, biarkan kita melihat kebaya dengan mata yang baru. Ia bukan relikui untuk dikuratori di museum, melainkan sebuah teks yang terus ditulis ulang. Pada tubuh seorang perempuan muda yang mengenakannya ke kantor, ia adalah sikap. Pada tubuh seorang nenek di pasar, ia adalah kenyamanan dan ingatan. Pada tubuh seorang aktivis yang berdiri di depan istana, ia adalah wujud keteguhan yang anggun.
Kebaya telah melewati zaman kerajaan, kolonialisme, revolusi, hingga globalisasi. Ia bertahan justru karena ia lentur, karena ia mampu memuat makna yang bertentangan: tradisi dan modernitas, ketaatan dan pembebasan, keseragaman nasional dan keunikan lokal.
BACA JUGA:Generasi Muda dan Dompet yang Jebol
Hari ini, dunia berkata, "Kami mengakui warisanmu." Tugas kita kini adalah memastikan bahwa warisan itu tetap hidup, bukan sebagai hiasan di etalase, tapi sebagai bahasa yang terus fasih diucapkan oleh zaman. Seperti kata bijak yang tak diketahui asalnya: kain paling kuat adalah yang ditenun bukan hanya dari benang, tapi dari jalan sejarah yang panjang. Kebaya adalah tenunan itu. Ia adalah kita.
Sumber:



