Dari Jimbocho ke Kampung Ilmu, Sebuah Nirwana yang Menunggu
Fatkhul Aziz--
Ada yang tersisa dari gemuruh kota metropolitan: sudut-sudut sunyi yang justru menjadi denyut nadinya. Di Tokyo, tempat itu bernama Jimbocho—sebuah lingkungan yang oleh Time Out dinobatkan sebagai yang "terkeren" untuk tahun 2025. Ia bukanlah taman futuristik atau plaza berkilauan. Jimbocho adalah nirwana bagi para pencinta buku, dengan sekitar 130 toko buku butiknya yang berjejal dalam bangunan tua rendah. Di sana, waktu berjalan lebih lambat; dihirup bersama aroma kertas tua dan seduhan kopi. Generasi yang berbeda—mahasiswa, pekerja kantoran, para lansia—hidup berdampingan dalam ritual yang sama: membaca, menyeruput kopi, menyantap kari di rumah makan tradisional. Jimbocho adalah pelarian, sekaligus pengingat, bahwa jiwa sebuah kota seringkali bersembunyi di ruang-ruang yang justru tidak berteriak.
Di Surabaya, kita punya sebuah potensi yang mirip, namun masih terlelap: Kampung Ilmu.
BACA JUGA:Bisnis Gue Temenin Jalan, Luka di Balik Gemerlap Kota

Mini Kidi--
Bayangkan, suatu kawasan di pusat kota yang dahulu dikenal sebagai gudangnya buku bekas dan pengetahuan second-hand. Jalan-jalannya mungkin sempit, bangunannya mungkin usang, tetapi napasnya adalah napas intelektual yang polos. Di sanalah, para pelajar dan akademisi dari berbagai generasi pernah berburu harta karun tercetak—sebuah tradisi yang kini hampir punah diterjang gempuran digital dan perubahan selera.
Kampung Ilmu bisa menjadi Jimbocho-nya Surabaya. Bukan dengan meniru secara mentah, tetapi dengan menghidupkan kembali rohnya.
Bayangkan jika toko-toko buku tua itu tidak hanya bertahan, tetapi berevolusi. Mereka bisa menjadi "butik pengetahuan"—tempat di mana buku bekas yang berdebu dikurasi dengan cermat, disandingkan dengan kedai kopi mikro yang menyeduh biji lokal, dan ruang baca kecil yang mengundang orang untuk tinggal lebih lama. Bangunan-bangunan tua itu bukanlah aib yang harus dirubuhkan, melainkan cangkang budaya yang bisa dipulihkan dengan rasa hormat. Arsitektur kolonial dan art deco yang masih tersisa bisa menjadi latar yang otentik, sebuah kontras yang justru memesona di tengah keseragaman mall dan plaza.
BACA JUGA:Vaksin Kanker Rusia dan Impian Abadi
Seperti Jimbocho yang menjadi tempat nongkrong bagi para intelektual Tokyo dari berbagai generasi, Kampung Ilmu bisa menjadi jantung komunitas kreatif Surabaya. Ia bukan hanya tentang jual-beli buku, tetapi tentang pertukaran ide. Di pelataran kecil, bisa diadakan diskusi sastra atau bincang sejarah kota. Di ruang-ruang kosong, workshop kreatif—dari seni rupa hingga musik independen—bisa menemukan rumahnya. Suasanya akan hidup dengan koeksistensi yang damai: seorang profesor tua berdebat dengan mahasiswa seni muda di satu meja, sementara di seberangnya, seorang ibu menikmati es teh sambil membaca novel klasik.
Inspirasi dari daftar Time Out menunjukkan bahwa "kekerenan" sebuah lingkungan justru lahir dari karakternya yang unik dan komunitasnya yang dinamis. Lihatlah Borgerhout di Antwerp yang menjadi pusat kreatif dengan kafe vegan dan galeri komunitasnya, atau Mullae-dong di Seoul yang bertransformasi dari kawasan industri menjadi kanvas seni mural dan workshop. Mereka tidak menolak modernitas, tetapi merangkainya dengan identitas lokal yang kuat.
Kampung Ilmu memiliki semua bahan mentah untuk transformasi serupa. Ia memiliki sejarah, lokasi yang strategis, dan yang terpenting, sebuah "jiwa tempat" yang sudah ada. Tantangannya bukan pada bagaimana membangunnya dari nol, melainkan pada bagaimana menyulapnya dengan kepekaan. Perlu kebijakan tata kota yang melindungi karakter kawasan, bukan mengkomodifikasinya. Perdukungan bagi pemilik toko buku lama untuk bertahan dan berinovasi. Dan yang utama, partisipasi aktif dari komunitas—para pecinta buku, seniman, akademisi, dan warga—untuk bersama-sama merajut kembali mimpi itu.
BACA JUGA:Dunia Berkubu dalam Bayangan Senjata
Jimbocho menutup tokonya lebih awal dan libur pada Minggu, menghormati irama tradisionalnya. Kampung Ilmu pun bisa demikian. Ia tidak perlu beroperasi 24/7. Justru dalam kesunyiannya di hari Minggu pagi, atau dalam semarak Festival Buku Bekas yang bisa dihidupkan setiap tahun, karakter uniknya akan bersinar.
Pada akhirnya, kota yang besar bukanlah yang hanya memiliki gedung-gedung tertinggi. Melainkan yang masih memiliki sudut-sudut di mana waktu diizinkan untuk berhenti sejenak, di mana obrolan dan halaman buku lebih bernilai daripada efisiensi. Kampung Ilmu adalah janji itu bagi Surabaya. Sebuah nirwana yang menunggu untuk dibangunkan dari tidurnya, bukan dengan bulldozer, tetapi dengan imajinasi dan rasa cinta.
Sumber:



