umrah expo

Jalanan Lenggang, Dompet Ikut Kosong

Jalanan Lenggang, Dompet Ikut Kosong

Catatan Redaksi Anis Tiana Pottag.--

BACA JUGA: Janice Tjen Mendunia

Uang itu tidak masuk ke restoran besar. Tidak ke mal. Tidak juga ke dompet pejabat. Tapi ke gerobak cilok. Ke tukang telur gulung. Ke penjual es teh manis.

Itulah wajah ekonomi mikro kita. Kecil, tapi riil. Sunyi, tapi sangat menentukan.

Sekolah daring selama seminggu, berarti Rp12,5 miliar uang saku siswa tidak beredar. Tidak mampir ke kantin. Tidak mengisi celengan penjual somay. Tidak menyambung dapur pedagang kaki lima yang biasa mangkal depan sekolah.

Mereka itu bukan pedagang besar.

Mereka tidak punya toko. Tidak punya gudang. Tidak punya akses ke pinjaman modal usaha berbunga rendah.

Yang mereka punya hanya gerobak, sepeda, dan harapan: semoga anak-anak tetap sekolah. Semoga cuaca cerah.

Jangan tanya tabungan.

Karena penghasilan mereka bukan Rp3 juta sehari. Bahkan Rp3 juta sebulan pun banyak yang belum tembus.

Lalu kita dengar di Jakarta, seorang anggota DPR berteriak lantang soal penghasilan Rp3 juta yang habis hanya untuk beli bensin.

Saya jadi terdiam.

Bukan karena setuju atau tidak setuju. Tapi karena membayangkan, betapa “uang habis untuk bensin” itu bisa jadi rezeki selama sebulan bagi tukang gorengan keliling sekolah.

Demo memang hak rakyat.

Menuntut pun bagian dari demokrasi. Tapi ketika efeknya berlarut-larut, ada yang langsung menanggung akibatnya. Yang paling bawah. Yang tidak punya akses ke mikrofon.

Mereka tidak bisa demo.

Sumber: