umrah expo

Jalanan Lenggang, Dompet Ikut Kosong

Jalanan Lenggang, Dompet Ikut Kosong

Catatan Redaksi Anis Tiana Pottag.--

Surabaya terasa lengang.

Lengang yang tidak biasa.

Bukan karena akhir pekan. Bukan pula karena libur nasional. Tapi karena murid-murid SD dan SMP tidak sekolah.

Pasca demonstrasi besar di akhir Agustus lalu, Dinas Pendidikan Kota Surabaya mengeluarkan kebijakan: meliburkan semua siswa SD dan SMP hingga 4 September. Belajar dari rumah. Daring.

Langkah ini disebut antisipatif. Demi keamanan. Demi ketertiban. Demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi saya, dan mungkin Anda juga, melihat hal lain: ekonomi rakyat kecil yang langsung tersendat.

Hari itu, 1 September, saya mengendarai mobil dari Lidah Wetan menuju pusat kota. Biasanya butuh 45 menit. Kali ini hanya 25 menit.

BACA JUGA:Ajining Diri Soko Lathi

BACA JUGA:Hilang Makna

Lega? Tentu. Tapi justru di sanalah rasa cemas muncul.

Karena jalanan lenggang berarti ekonomi sedang pelan. Atau lebih buruk: terhenti.

Kita sering lupa, sekolah bukan hanya tempat belajar. Tapi juga pusat ekonomi rakyat. Setiap gerbang sekolah adalah “pasar kecil” tempat uang berpindah tangan.

Dari anak-anak ke pedagang. Dari pedagang ke pasar. Dari pasar ke rumah tangga. Lalu kembali lagi ke anak-anak.

Bayangkan: ada lebih dari 205 ribu siswa SD di Surabaya dan 35 ribu siswa SMP.

Kalau satu anak SD membawa uang saku Rp10.000, dan satu anak SMP Rp15.000, maka setiap harinya ada potensi perputaran uang sebesar Rp2,5 miliar hanya dari kantong siswa.

Sumber: