umrah expo

Royalti oh Royalti…

Royalti oh Royalti…

--

Catatan: Ferry Ardi Setiawan, Wartawan Memorandum

ISU royalti musik di Indonesia kembali mengemuka dan memicu perdebatan sengit. Dimulai dari kasus hukum sederhana yang menimpa pengusaha restoran kini meluas menjadi polemik nasional, menyentuh ranah hukum, ekonomi, sosial, hingga perdebatan filosofis tentang arti sebuah karya. 

Persoalan ini bukan lagi sekadar sengketa antara musisi dan pengguna, melainkan ujian bagi sistem hukum, transparansi, dan penghargaan kolektif kita terhadap kekayaan intelektual.

Titik balik dari perbincangan ini adalah penegakan hukum yang menimpa bos restoran Mie Gacoan di Bali. 

Penggunaan musik di tempat usahanya tanpa izin berujung pada ancaman pidana, menjadi pengingat tegas bagi para pelaku usaha bahwa hak cipta bukanlah hal sepele. Regulasi yang menjadi landasan, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 56/2021, mulai menunjukkan taringnya. 

Peristiwa ini membuka mata bahwa aturan telah ada, dan kini mulai diimplementasikan. Namun, implementasi tersebut justru membuka kotak Pandora yang lebih besar.

Polemik ini kemudian menggelinding hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK), di mana sejumlah musisi mengajukan uji materi Undang-Undang Hak Cipta. 

Mereka mengklaim ada pasal-pasal yang tidak adil dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam sistem royalti. Puncak dari perdebatan ini adalah "seloroh" tajam dari Hakim Konstitusi Arief Hidayat. 

Dengan cerdas, ia mengumpamakan, jika royalti dihitung secara harfiah dari frekuensi penggunaan, maka ahli waris WR Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya, seharusnya menjadi orang terkaya di Indonesia. 

Analogi ini bukan hanya sekadar lelucon, melainkan kritik mendalam terhadap logika aturan yang berlaku. 

Ini mempertanyakan apakah karya monumental yang sakral dan karya komersial bisa diperlakukan sama persis dalam skema royalti.

Di tengah tuntutan para musisi untuk mendapatkan hak yang adil, muncul pula sikap berbeda. Sejumlah artis papan atas, seperti Ahmad Dhani, memberikan pengecualian untuk penggunaan lagu-lagunya di restoran, bahkan ada pula yang secara terbuka menyatakan tidak akan menuntut royalti. 

Sikap pentolan Dewa 19 ini meski dipandang sebagai bentuk kemurahan hati, sejatinya dapat menciptakan standar ganda dalam industri.  Ketika sebagian besar seniman berjuang mati-matian menuntut keadilan, sikap ini dapat melemahkan perjuangan kolektif untuk menegakkan hak cipta. 

Sistem yang ideal seharusnya kuat secara inheren, melindungi hak para pencipta secara otomatis, terlepas dari apakah mereka memintanya atau tidak.

Sumber: