JAKARTA, MEMORANDUM - Salah satu kuasa hukum yang ikut melaporkan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sunandiantoro SH MH menegaskan, bahwa apa yang dilakukan oleh KPU diduga merupakan pelanggaran etik dan pelanggaran hukum.
Hal itu disampaikan saat ikut mendengarkan sidang dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, Senin, 15 Januari 2024. Ia pun menanggapi keterangan saksi ahli dalam sidang tersebut.
"Ini jelas-jelas merupakan pelanggaran berat. Kita kembali kepada DKPP, apakah DKPP berani, jujur, dan adil dalam melakukan pemeriksaan ini," ujar Sunandiantoro, Rabu, 17 Januari 2024.
Untuk diketahui, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Ruang Sidang DKPP, Jakarta.
BACA JUGA:Sidang DKPP soal Pendaftaran Prabowo-Gibran Berlangsung Dramatis, KPU dan Pelapor Perang Argumentasi
KPU diadukan ke DKPP oleh Demas Brian Wicaksono dengan Perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023 karena telah menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Prof Drs Ratno Lukito, MA., DCL, saksi ahli pertama yang dihadirkan dalam persidangan tersebut menilai Putusan MK No. 90 merupakan Putusan yang bersifat non-executable karena menurut UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2) serta Penjelasannya tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus ditindaklanjuti oleh Presiden atau DPR untuk mengubah norma hukum pasal atau ayat dalam UU yang dibatalkan/dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (2) dari UU No. 12 Tahun 2011, kata Ratno, disebutkan bahwa tindak lanjut oleh Presiden atau DPR untuk mengubah rumusan norma hukum UU yang dibatalkan itu agar tidak ada kekosongan hukum.
Dengan demikian, UU No. 12 Tahun 2011 memerintahkan agar UU Pemilu, UU No. 7 Tahun 2017, yang mengatur syarat minimal usia cawapres 40 tahun, diubah terlebih dahulu.
BACA JUGA:DKPP Sebut Aduan Masyarakat Terhadap KPU dan Bawaslu Jelang Pemilu Kian Tinggi
Setelah diubah sesuai Putusan MK No. 90, KPU dapat melakukan konsultasi dengan DPR atau Presiden untuk melakukan perubahan peraturan pada pasal 169 (q) UU No. 7 Tahun 2017 dan KPU No. 19 Tahun 2023 agar norma hukum atau pasalnya yang masih mengatur syarat minimal usia 40 tahun bagi cawapres diubah rumusannya sehingga sesuai dengan Putusan MK No. 90.
"Praktik yang dilakukan oleh Presiden atau DPR dan KPU ternyata tidak seperti yang diamanatkan dalam UU. Presiden atau DPR mengabaikan perintah Pasal 10 ayat 1 (q), dan ayat 2 UU No. 12 Tahun 2011 untuk menindaklanjuti Putusan MK No. 90," ujar Ratno Lukito.
Karenanya, lanjut Ratno, terjadilah kekosongan hukum dalam UU Pemilu yang mengatur syarat minimal usia cawapres hingga sekarang.
"Celakanya lagi, KPU belum mengubah Peraturan KPU No. 19 tahun 2023 yang masih mengatur usia minimal cawapres 40 tahun; dan tiba-tiba KPU menerima dan menetapkan pendaftaran Gibran," ungkapnya.
BACA JUGA:Pengumuman Bawaslu Molor, Ketua dan Anggota Bawaslu RI Dilaporkan ke DKPP
Dalam konteks ini, masih kata Ratno, di samping ada masalah kekosongan hukum soal syarat usia cawapres, juga ada masalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan KPU, karena KPU tidak memiliki dasar hukum yang sah dan valid untuk menerima dan menetapkan Gibran sebagai Bacawapres.
KPU baru pada tanggal 3 November 2023 melakukan penerbitan PKPU No. 23 Tahun 2023 sebagai Perubahan dari PKPU No. 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian, kata Ratno, KPU dianggap telah melanggar sumpah dan janjinya untuk melaksanakan/menegakkan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya. Ini merupakan bentuk pelanggaran etik yang sangat berat yang dilakukan oleh KPU.
Legal disobedience yang dilakukan oleh KPU telah mengakibatkan rentetan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran etika yang besar.
BACA JUGA:Sidang Kode Etik DKPP: Penyelenggara Pilkada Jember Diduga Perlambat 92 Hari Pelaporan Hasil Verifikasi Admini
Menurut DR. Charles Simabura, SH, MH sebagai saksi ahli lainnya yang dihadirkan dalam persidangan tersebut menjelaskan bahwa KPU seharusnya berupaya agar Presiden atau DPR menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90 tahun 2023 karena KPU tidak bisa melakukan eksekusi tanpa adanya tindak lanjut dari DPR atau Presiden.
Oleh karena itu semua peraturan asal harus ada saat itu, kemudian KPU juga dalam menerbitkan PKPU-nya harus mengacu pada putusan pertama, tidak boleh ada perubahan apapun.
"Nah ini saya tidak tahu mengapa KPU bisa melakukan perubahan dengan dasar putusan yang baru tanpa ada tindaklanjut dari Presiden atau DPR. Jadi karena tidak mentaati satu Undang-undang maka semuanya bermasalah," kata saksi ahli.
Ia juga berpendapat bahwa Anggota KPU selaku penyelenggara pemilu telah bersikap dan bertindak yang tidak sesuai dengan prinsip berkepastian hukum. Anggota KPU, menurut ahli, telah melanggar prinsip berkepastian hukum yang dimuat dalam Pasal 11 Peraturan DKPP 2/2017.(mik)