Referendum Bangsamoro

Jumat 01-02-2019,09:16 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh Dahlan Iskan Katedral dibom. Korbannya hampir 100 orang. Yang 29 meninggal. Masjid digranat. Tengah malam. Dua orang yang lagi tidur di dalamnya tewas. Nyawa jadi alat pembayaran. Untuk sebuah referendum di Filipina Selatan. Untuk menentukan berlakunya otonomi daerah di sana. Namanya: daerah otonom Bangsamoro. Referendumnya 21 Januari. Katedral dibom 27 Januari. Masjid digranat 29 Januari. Hasil referendum: ‘Yes’ mendapat 89 persen suara. ‘No’ mendapat sisanya. Minggu depan ada referendum lagi. Tanggal 6 Februari. Untuk daerah sekitarnya. Semoga aman-aman saja. Daerah otonom itu mencakup lima provinsi. Yang mayoritas penduduknya Islam. Yang sudah sejak zaman orde baru menuntut diberi otonomi. Atau akan merdeka. Perang terus terjadi di wilayah ini. Pemberontakan, kata pemerintah pusat. Perjuangan, kata para pejuang. Teror, pembajakan, penyergapan, penyerbuan tidak pernah berhenti. Orde baru tumbang. Pusat mulai mendengar tuntutan daerah. Dicarilah jalan damai. Akhirnya dilakukan referendum ini. Dulu, saya pikir, seluruh pulau Mindanao yang besar itu masuk Bangsamoro. Ternyata tidak. Hanya sedikit sekali di bagian baratnya yang termasuk Bangsamoro. Wilayah terluas Bangsamoro lainnya ada di pulau-pulau kecil. Di antara Mindanao dan Sabah/Kaltara. Karena itu referendum ini sangat rumit. Comelec kerja keras. KPU-nya Filipina itu semula mengira referendumnya bisa sekali saja. Ternyata rumit. Banyak sekali petisi dikirim oleh komunitas. Yang ingin ikut referendum. Atau menolak referendum. Akhirnya diputuskan dua kali itu. Tiga juta kartu suara dicetak. Sesuai dengan jumlah penduduk di lima propinsi itu. Tapi yang mendaftar hanya 2 juta. Itu pun sudah dengan toleransi besar. Tanpa KTP pun bisa ikut. Asal direkomendasikan kepala suku. KTP memang masih problem di pulau-pulau seperti itu. Mereka orang laut. Jiwanya bebas. Bagi mereka KTP adalah lambang pembatasan. Tapi mereka ingin sekali ikut referendum. Isunya sangat sensitif: agama. Juga kedaerahan. Kesukuan pula. Pertanyaan di kartu suara itu ditulis dalam dua bahasa: Tagalog dan Arab. Tidak ada bahasa Inggrisnya. Pertanyaannya: Apakah Anda ingin UU 11054 yang juga dikenal sebagai UU Otonomi Daerah Islam Bangsamoro diterapkan. Pemilih bisa menulis ‘Yes’ atau ‘No’. Harus dalam bahasa Inggris. Tidak boleh menulis dalam bahasa Tagalog: ‘Oo’ atau ‘hindi’. Tidak boleh juga dalam bahasa Arab: ‘na’ am’ atau ‘la’. Hasilnya itu tadi. ‘Yes’ menang telak. Hanya di Kota Isabela yang dimenangkan ‘No’. Ini nanti agak rumit. Sebab kota Isabela adalah ibukota provinsi Basilan. Sebuah pulau di dekat Semenanjung Zambuanga. Secara keseluruhan ‘yes’ menang di provinsi ini. Maka sebelum 150 hari ke depan otonomi sudah harus berlaku. Hasil referendum itu harus disahkan parlemen Filipina. Dengan demikian akan ada jabatan gubernur super di atas lima gubernur propinsi otonom itu. Nama jabatannya: Gubernur Regional Otonomi Bangsamoro. Gubernur Regional itu akan memiliki tiga deputi. Yang harus dari tiga agama: Islam, Katholik, Adat. Hukumnya hukum Islam. Bagi yang beragama Islam. Mata uangnya tetap peso. Polisi dan tentaranya tetap pusat. Belum selesai. Masih akan ada lagi referenduml tanggal 6 Februari depan. Jawaban yang diperlukan tetap ‘yes’ atau ‘no’. Tapi pertanyaannya berbeda. Referendum minggu depan itu khusus untuk desa-desa sekitar lima provinsi itu. Pertanyaannya: “Apakah Anda ingin (nama desa) ini masuk Daerah Otonom Bangsamoro”. Pertanyaan juga ditulis dalam bahasa Tagalog dan Arab. Lebih 60 desa atau kota kecil atau pulau kecil yang penduduknya harus ditanya seperti itu. Entah apa hasilnya nanti. Filipina Selatan memasuki babak baru. Para pejuang Islam di sana sudah menemukan buah perjuangannya. Tinggal membuktikannya: apakah rakyatnya bisa lebih sejahtera. Atau, seperti yang dipidatokan dalam kampanye pro yes, gaji guru akan naik dua kali. Atau, rakyatnya itu hanya akan jadi barang dagangan politik para elitnya.(*)

Tags :
Kategori :

Terkait