BACA JUGA:Perum Perhutani KPH Blitar Perkirakan Rp 38 M Potensi Pendapatan Hilang
BACA JUGA:Perhutani Gandeng Kejaksaan Tertibkan Ribuan Hektare Tebu Liar di Blitar Selatan
M Trijanto sendiri pada orasinya mengakui jika dirinya mendukung langkah Perhutani dalam mentertibkan tebu ilegal. Namun, ia menjelaskan, bahwa hal tersebut berlaku pada area kerja Perhutani, bukan wilayah KHDPK.
"Memang saya dukung, tapi bukan di wilayah KHDPK. Di wilayah ini, Perhutani tak punya wewenang untuk intervensi. Yang kami persoalkan sekarang, kenapa Perhutani masih cawe-cawe di yang bukan wilayahnya," ujar M Trijanto.
BACA JUGA:Perhutani KPH Blitar Tingkatkan Kemitraan dengan KTH
Namun, pada kenyataannya, KHDPK yang belum berizin, masih menjadi tanggung jawab Perhutani. “Pada titik-titik KHDPK, sebelum ada ijin, itu masih menjadi tanggung jawab Perhutani. Karena saat ada kebakaran, banjir, illegal logging, Perhutani lah yang dicari lebih dulu,” terang Muklisin kembali.
Langkah berani Perhutani dalam memberantas tebu ilegal dimulai dengan menggandeng Kejaksaan Negeri (Kejari) Blitar, yang berlanjut dengan melakukan sosialisasi di berbagai tempat.
Kemudian, Perhutani menyodorkan perjanjian kerja sama (PKS) kepada seluruh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Kelompok Tani Hutan (KTH) di Kabupaten Blitar.
Sejauh ini, menurut keterangan Muklisin, dari 40 LMDH dan KTH di Kabupaten Blitar, hanya ada 7 yang tak setuju, sementara 33 lainnya menyepakati PKS yang disodorkan oleh perhutani.
"Langkah kami ini sesuai dengan permintaan DPRD Kabupaten Blitar saat audiensi dengan Kepala Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Timur. Yang mana, wilayah Sutojayan setiap akhir tahun menjadi langganan banjir. Jadi, kita upayakan untuk mengembalikan fungsi ekologi hutan," paparnya.
Menurut data Perhutani, sekitar 11 ribu hektare kawasan hutan di Kabupaten Blitar, berubah fungsi menjadi hamparan ladang tebu. Ini lah yang digadang-gadang menjadi biang kerok permasalahan banjir di Kabupaten Blitar.
Bukan cuma banjir, Perhutani pernah mengklaim, tebu-tebu liar ini menyebabkan hilangnya potensi pendapatan negara, hingga Rp 38 Miliar pertahun dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan sharing ke Perhutani sebesar 10 persen.
"10 persen itu sedikit sekali, dan 90 persen itu masih banyak banget. Masyarakat bisa mengolah hutan produksi dan negara tak kehilangan pendapatannya. Yang paling penting, harus ada minimal 1.000 tanaman kehutanan," pungkas Muklisin. (*)