MEMORANDUM-Salah satu ikon dari Banyuwangi adalah Tari Gandrung, sebuah tari yang selalu dilakukan masyarakat Banyuwangi untuk menyambut pernikahan, panen atau khitanan.
Tarian sangat menarik karena penarinya menampilkan perpaduan dua budaya yakni musik Jawa dan Bali.
Perlu anda ketahui juga bahwa Tari Gandrung merupakan kebanggaan masyarakat banyuwangi. Sebagai warisan budaya suku Osing Banyuwangi, harus ada pasangan yaitu laki-laki dan perempuan untuk menampilkan tarian ini.
Penari perempuan disebut penari gandrung, sedangkan penari laki-laki disebut paju atau pemaju.
Jika anda penasaran dengan segala hal yang berhubungan dengan Tari Gandrung, anda bisa membaca seluruh informasinya dibawah ini.
BACA JUGA:Tiga Kuliner Khas Banyuwangi yang Wajib Dicoba
Sejarah Tari Gandrung
Tarian ini biasa dibawakan oleh laki-laki yang berpakaian seperti perempuan. Berkembangnya agama Islam di Blambangan menjadi salah satu faktor mengapa tari Gandrung tidak lagi dibawakan oleh laki-laki yang berpakaian seperti perempuan.
Semangat Lanang mulai memudar karena filosofi Islam menyatakan bahwa laki-laki dilarang berpakaian seperti perempuan.
Era Gandrung Lanang pun berakhir setelah meninggalnya penari terakhir, Marsan. Pada mulanya hanya keturunan penari terdahulu yang mampu menarikan Gandrung.
Ceritanya dimulai pada tahun 1895 dan berkisah tentang seorang anak kecil berusia 10 tahun bernama Semi. Berdasarkan cerita tersebut, Semi harus menghadapi penderitaan yang berat, yaitu menderita penyakit yang sangat serius.
Berbagai hal dilakukan orang tuanya, termasuk mengunjungi dukun untuk menyembuhkan putrinya. Namun upaya tersebut tidak berhasil.
BACA JUGA:Lima Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi Pada saat ke Banyuwangi
Suatu hari, ibu Mak Midhah berjanji jika putrinya sudah sembuh, dia akan melakukan seblang. Tapi jika dia tidak sembuh, dia menarik kembali kata-katanya.
Setelah Nadzar, Semi pulih dan menjadi Seblang. Ada ronde lagi, wanita itu akhirnya memainkan tariannya.