JOGYAKARTA, MEMORANDUM-Maman terlihat konsentrasi penuh. Sorot matanya taham membidik sasaran. Dalam hitungan detik jemparing (anak panah) melesat dari gandewa (busur) menuju sasaran.
Namun sayang, bidikan Maman, wartawan Bribin Cirebon ini meleset satu meter dari sasaran. Pria berkacamata ini tidak menyerah. Sekali lagi diarahkannya anak panah dan set, lagi-lagi melenceng dari sasaran.
"Susah juga ya. Harus benar-benar konsentrasi tinggi dan tangan tidak boleh bergetar," ungkapnya. Maman tidak sendiri, Rere juga mengalami kesulitan serupa. Konten kreator asal Medan ini harus berulang-ulang mencoba memanah.
“Susah tapi asyik. Jemparingan harus dilestarikan sebab, ini adalah olahraga asli Mataram dalam hal ini Jogyakarta,” urainya.
Dalam kesempatan itu, memorandum.disway.id, juga berkesempatan mencoba praktek seni panahan Jemparingan. Karena baru pertama kali mencoba, anak panah melesat menjauhi target. Namun, hal itu menjadi lumrah untuk pemula atau baru mencobanya.
Seni panahan asli Jogyakarta (Jemparingan) memang tidak segampang kelihatannya. Sebab, menurut Hangga Aji Sayekti Ketua Paguyuban Jemparingan Alas Mentaok, diperlukan minimal sebulan untuk bisa benar-benar mahir membidik sasaran.
"Kalau tangan sudah tidak gemetaran sudah mulai bisa menguasai tahap pertama olahraga ini," kata Hangga.
Dia menyebut, Jemparingan adalah olahraga panahan khas Kerajaan Mataram. Berasal dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, atau dikenal juga dengan jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta.