Mungkin merasakan sentuhan tanganku, Kak Erfan terbangun dan langsung duduk. Agak jauh dariku. Matanya memandangku penuh tanda tanya. Bibirnya sedikit terbuka berusaha tersenyum.
Dadaku sesak, mengapa Kak Erfan selalu bersikap dingin kepadaku. Apakah dia menganggap aku orang lain? Apakah di hatinya tidak ada cinta sama sekali untukku?
Tanpa kusadari air mataku menetes sambil menahan isak yang ingin sekali kuluapkan dengan teriakan. Hingga akhirnya gemuruh di hatiku tidak bisa kubendung juga.
”Afwan Kak, kenapa sikapmu selama ini kepadaku begitu dingin? Kau bahkan tak
pernah mau menyentuhku walaupun sekadar menjabat tanganku? Bukankah aku ini istrimu? Bukankah aku telah halal buatmu? Lalu, mengapa kau jadikan aku sebagai patung perhiasan kamarmu? Apa artinya diriku bagimu kak? Apa artinya aku bagimu, Kak? Kalau kau tidak mencintaiku, lantas mengapa kau menikahiku? Mengapa Kak? Mengapa?” rintihku lirih di sela isak tangis yang tak bisa kutahan.
Tak ada reaksi apa pun dari Kak Erfan menanggapi kegalauan hatiku dalam tangis yang tersedu itu. Yang nampak adalah dia memperbaiki posisi duduknya dan melirik jam yang menempel di dinding kamar kami. Hingga akhirnya dia mendekatiku dan perlahan berujar padaku, ”Dek, jangan kau pernah bertanya kepada Kakak tentang perasaan ini padamu. Karena, sesungguhnya Kakak begitu sangat mencintaimu. Tetapi, tanyakanlah semua itu kepada dirimu sendiri. Apakah saat ini telah ada cinta di hatimu untuk Kakak?”
Setelah mengambil napas panjang, Kak Erfan menambahkan, “Kakak tahu dan yakin pasti suatu saat kau akan bertanya mengapa sikap Kakak selama ini begitu dingin kepadamu. Sebelumnya Kakak minta maaf bila semuanya baru Kakak kabarkan malam ini. Kau mau tanyakan apa maksud Kakak sebenarnya dengan semua ini?”
“Iya tolong jelaskan kepada saya Kak, mengapa Kakak begitu tega melakukan ini kepada saya? Tolong jelaskan Kak?” ujarku menimpali tutur Kak Erfan.
“Hmmm, Dek kau tahu apa itu pelacur? Dan apa pekerjaan seorang pelacur? Dalam pemahaman Kakak, seorang pelacur itu adalah wanita penghibur yang kerjanya melayani para lelaki hidung belang untuk mendapatkan materi tanpa peduli apakah di hatinya ada cinta untuk lelaki itu. Bahkan, seorang pelacur terkadang harus meneteskan air mata mana kala dia harus melayani nafsu lelaki yang tidak dicintai.” Berhenti sejenak, Kak Erfan menatap tajam mataku.
Dia melanjutkan, bahkan dia sendiri tidak merasakan kesenangan dari apa yang sedang terjadi saat itu. Dia tidak ingin hal itu terjadi kepadaku. Aku istrinya. Betapa bejatnya dia ketika harus memaksaku melayani dia dengan paksaan saat malam pertama pernikahan kami? Sedangkan di hatiku tak ada cinta sama sekali buat Kak Erfan.
Kak Erfan merasa alangkah berdosanya dia bila pada saat melampiaskan birahi kepadaku malam itu, sementara yang ada dalam benakku bukanlah dia, tetapi ada lelaki lain.
“Kau tahu Dek, sehari sebelum pernikahan kita digelar, Kakak sempat datang ke rumahmu untuk memenuhi undangan Bapakmu. Tapi begitu Kakak berada di depan pintu pagar rumahmu, Kakak melihat dengan mata kepala Kakak sendiri kesedihanmu yang kau lampiaskan kepada kekasihmu Andi,” tutur Kak Erfan.
Katanya aku ungkapkan kepada Andi bahwa aku tidak mencintai Kak Erfan. Kuungkapkan kepada Andi bahwa Kak Erfan hanya akan mencintainya selamanya. Saat itu Kakak merasa bahwa Kakak telah merampas kebahagiaanmu.” (jos, bersambung)