Sosok gelap itu tetap tegar berdiri di samping tempat tidur. Aku hampir berteriak histeris andai saja saat itu tidak kudengar seruan takbir terucap lirih dari sosok itu, “Allahu akbar.”
Perlahan aku membalikkan tubuh menghadapnya. Ya Allah, aku lupa bahwa aku telah menjadi istri Kak Erfan. Tapi meskipun demikian, aku masih tidak bisa menerima kehadirannya dalam hidupku.
Saat itu, karena masih di bawah rasa kantuk, aku pun kembali teridur. Hingga pukul 04.00 dini hari, kudapati suamiku sedang duduk berzikir beralaskan sajadah di bawah ranjang pengantin kami.
Dadaku kembali berdetak kencang kala mendapatinya. Aku masih belum percaya kalau aku telah bersuami. Tapi, ada sebuah pertanyaaan terbetik dalam benakku. Mengapa dia tidak tidur di ranjang bersamaku?
Kalaupun dia belum ingin menyentuhku, paling tidak dia tidur seranjang denganku. Itu kan logikanya? “Ada apa ini?” ujarku perlahan dalam hati.
Aku merasa mungkin saja malam itu Kak Erfan kecapaian sama sepertiku sehingga dia tidak mendatangiku dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. “Tapi apa peduliku dengan itu semua, toh aku pun tidak menginginkannya,” gumamku dalam hati.
Hari-hari terus berlalu. Kami pun menjalani aktivitas masing-masing, Kak Erfan bekerja mencari rezeki dengan pekerjaannya. Sedangkan aku, di rumah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami bahwa aku telah bersuami dan memiliki kewajiban melayani suami. Yah, minimal menyediakan makanannya, meski kenangan-kenangan bersama Andi belum hilang dari benakku. Jujur, aku bahkan masih merindukannya.
Semula kupikir perilaku Kak Erfan yang tidak pernah menyentuhku dan menunaikan kewajibannya sebagai suami itu hanya terjadi pada malam pertama pernikahan kami.
Ternyata tidak. Itu terjadi hampir setiap malam sejak malam pengantin itu, Kak Erfan selalu tidur beralaskan permadani di bawah ranjang atau tidur di atas sofa dalam kamar kami.
Dia tidak pernah menyentuhku walau hanya menjabat tangan. Jujur segala kebutuhanku selalu dipenuhinya. Secara lahir dia selalu mafkahiku, bahkan nafkah lahir yang dia berikan lebih dari apa yang aku butuhan.
Tapi soal biologis, Kak Erfan tak pernah sama sekali mengungkit- ungukitnya atau menuntutnya dariku. Bahkan yang tidak pernah kupahami, pernah secara tidak sengaja kami bertabrakan di depan pintu kamar, Kak Erfan meminta maaf seolah merasa bersalah karena telah menyetuhku.
Ada apa dengan Kak Erfan? Apakah dia lelaki normal? Kenapa dia begitu dingin kepadaku? Apakah aku kurang di matanya? Atau? Jujur, merasakan semua itu, membuat banyak pertanyaan berkecamuk dalam benakku.
Ada apa dengan suamiku? bukankah dia adalah pria yang beragama dan tahu bahwa menafkahi istri itu secara lahir dan batin adalah kewajiban? Ada apa dengannya? Padahal, setiap hari dia mengisi acara-acara keagamaan di masjid. (jos, bersambung)