Rencana pernikahan dengan Kak Erfan itu disampaikan Umi (Ibu). Kurasakan dunia ini gelap. Kepala pening. Aku berteriak sekencang-kencangnya menolak rencana itu.
Kusampaikan bahwa aku punya kekasih bernama Andi. Mendengar itu, giliran Umi yang shock dan jatuh tersungkur ke lantai. Aku tidak menduga kalau sikapku yang egois itu akan membuat Umi shock. Aku baru tahu bahwa yang menyebabkan itu adalah karena kami pernah dijodohkan semasa SD.
Perjodohan kami bahkan sudah diperkuat pembicaraan antar para sepuh. Pakde, bude, serta kakek dan nenek Fatimah bersama anggota keluarga besar yang lain. Rundingan sudah matang.
BACA JUGA:Menjalani Takdir Cinta di Serambi Makkah (1) Hatiku sedih saat itu. Kurasakan dunia begitu kelabu. Aku seperti menelan buah simalakama, seperti orang yang paranoid, tidak tahu harus ikut kata orang tua atau lari bersama kekasihku, Andi.
Dengan berat hati dan penuh kesedihan akhirnya kuputuskan menerima lamaran Kak Erfan untuk menjadi istrinya dan kujadikan malam terakhir perjumpaanku dengan Andi di rumah sebagai ajang meluapkan kesedihan.
Meski kami saling mencintai, tapi mau tidak mau Andi harus merelakan aku menikah dengan Kak Erfan. Apalagi, Andi sendiri mengakui bahwa saat itu dia belum siap membina rumah tangga.
Pernikahan akhirnya digelar pada 5 Oktober 2008. Aku merasa pernikahan itu begitu menyesakkan dada. Air mata tumpah di malam resepsi pernikahan itu. Di tengah senyuman orang-orang yang hadir pada acara itu, mungkin akulah yang paling tersiksa. Karena harus melepaskan masa remajaku dan menikah dengan lelaki yang tidak pernah kucintai.
BACA JUGA:Sejuta Kisah Rumah Tangga: Jangan Tinggalkan Restu Orang Tua, Rin (3-habis) Dan yang paling membuatku tidak bisa menahan air mata, mantan kekasihku, Andi, hadir juga pada resepsi pernikahan tersebut. Ya Allah, mengapa semua ini harus terjadi padaku. Ya Allah… mengapa aku yang harus jadi korban dari semua ini?
Waktu terus berputar dan malam pun semakin merayap. Hingga usailah acara resepsi pernikahan kami. Satu per satu para undangan pamit pulang hingga sepilah rumah kami. Saat masuk ke dalam kamar, aku tidak mendapati Kak Erfan di dalam.
Sebagai istri yang terpaksa menikah dengannya, maka aku tak peduli dan langsung membaringkan tubuh setelah sebelumnya menghapus make up pengantin dan melepaskan gaun pengantin. Aku bahkan tak mau tahu ke mana suamiku saat itu. Karena rasa capai dan diserang kantuk, aku akhirnya tertidur. Lelap.
Lepas tengah malam, tiba-tiba aku tersentak tatkala melihat ada sosok hitam yang berdiri di samping ranjang. Bersamaan dengan itu jam dinding berdentang. Dua kali. Dadaku berdegup kencang. Mata yang semula terpejam kubuka perlaaha-lahan sambil kuucap doa. Doa apa saja yang aku tahu.
Ternyata sosok tinggi-besar yang berdiri di samping ranjang itu tak segera sirna. Berdiri tegak tak goyah sama sekali walau ayat-ayat suci sudah kulafalkan lebih dari 10 surat pendek. (jos, bersambung)