Oleh:
Anis Tiana Pottag, S.H., M.H., M.Kn. M.M.
CEO & Founder PT TOP Legal Group
CEO & Founder PT TOP Legal Group Anis Tiana Pottag, S.H., M.H., M.Kn. M.M. mengatakan, Perkawinan Beda Agama dan Kompleksitas Hukum masih terjadi di Indonesia.
Anis menambahkan, perkawinan beda agama telah lama menjadi isu yang menarik perhatian di Indonesia. Dalam masyarakat yang beragam agama dan kepercayaan, perkawinan antar-umat yang berbeda agama seringkali memunculkan beragam pandangan dan pertentangan. Saat pasangan memutuskan untuk menikah, mereka sering kali dihadapkan pada tantangan administratif dan hukum untuk mencatatkan perkawinan mereka.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi dasar hukum utama yang mengatur pernikahan di Indonesia. Pasal 2 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Artinya, setiap agama memiliki ketentuan dan persyaratan yang berbeda-beda untuk melangsungkan sebuah perkawinan.
Meskipun ada larangan perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan yang dilarang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, praktik perkawinan beda agama masih terjadi di sebagian masyarakat. Hal ini menimbulkan tantangan bagi kantor catatan sipil yang bertanggung jawab atas pencatatan perkawinan di Indonesia.
Peran Mahkamah Agung dan SEMA Nomor 2 Tahun 2023
Dalam mengatasi kompleksitas hukum perkawinan beda agama, Mahkamah Agung telah berperan penting dengan mengeluarkan putusan-putusan yang memberikan kelonggaran bagi kantor catatan sipil untuk mencatatkan perkawinan beda agama jika salah satu calon menundukkan diri dan melangsungkan pernikahan tidak secara agama Islam.