Surabaya, memorandum.co.id - WS Rendra bernama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir di Solo, Jawa Tengah pada 7 November 1935. Rendra menempuh pendidikan Sastra Inggris – Universitas Gajah Mada lalu mendapat beasiswa melanjutkan studi di American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1964 – 1967). Selain karyanya, Rendra piawai dalam membacakan sajak serta melakonkan seseorang tokoh dalam dramanya sehingga membuatnya menjadi seorang bintang panggung yang dikenal oleh seluruh anak negeri hingga ke mancanegara. Sebagai sastrawan dan penyair ternama, ia dijuluki sebagai “Burung Merak“. WS Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater. Menggubah sajak maupun membacakannya, menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi, maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri, bahkan di luar negeri. Karya-karyanya yang berbau protes pada masa aksi para mahasiswa sangat aktif di tahun 1978, membuat pria bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, ini pernah ditahan oleh pemerintah berkuasa saat itu. Demikian juga pementasannya, ketika itu tidak jarang dilarang dipentaskan. Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki. Di samping karya berbau protes, Rendra juga sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya. Banyak karya-karyanya yang sangat terkenal, seperti Blues untuk Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak. Pada tanggal 6 Agustus 2009, Willi (panggilan dekat bagi WS Rendra) meninggal dunia di kediaman putrinya Clara di Jakarta pada umur 73 tahun. Berikut Sajak Legendaris W.S. Rendra Berjudul "Sajak Sebatang Lisong" Sajak Sebatang Lisong karya WS Rendra Menghisap sebatang lisong Melihat Indonesia Raya Mendengar 130 juta rakyat Dan di langit Dua tiga cukong mengangkang Berak di atas kepala mereka Matahari terbit Fajar tiba Dan aku melihat delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan Aku bertanya Tetapi pertanyaan – pertanyaanku Membentur meja kekuasaan yang macet Dan papan tulis – papan tulis para pendidik Yang terlepas dari persoalan kehidupan Delapan juta kanak – kanak Menghadapi satu jalan panjang Tanpa pilihan Tanpa pepohonan Tanpa dangau persinggahan Tanpa ada bayangan ujungnya Menghisap udara Yang disemprot deodorant Aku melihat sarjana – sarjana menganggur Berpeluh di jalan raya Aku melihat wanita bunting Antri uang pensiunan Dan di langit Para teknokrat berkata : Bahwa bangsa kita adalah malas Bahwa bangsa mesti dibangun Mesti di up-grade Disesuaikan dengan teknologi yang diimpor Gunung – gunung menjulang Langit pesta warna di dalam senjakala Dan aku melihat Protes – protes yang terpendam Terhimpit di bawah tilam Aku bertanya Tetapi pertanyaanku Membentur jidat penyair – penyair salon Yang bersajak tentang anggur dan rembulan Sementara ketidak adilan terjadi disampingnya Dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan Termangu – mangu di kaki dewi kesenian Bunga – bunga bangsa tahun depan Berkunang – kunang pandang matanya Di bawah iklan berlampu neon Berjuta – juta harapan ibu dan bapak Menjadi gemalau suara yang kacau Menjadi karang di bawah muka samodra Kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing Diktat – diktat hanya boleh memberi metode Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan Kita mesti keluar ke jalan raya Keluar ke desa – desa Mencatat sendiri semua gejala Dan menghayati persoalan yang nyata Inilah sajakku Pamplet masa darurat Apakah artinya kesenian Bila terpisah dari derita lingkungan Apakah artinya berpikir Bila terpisah dari masalah kehidupan Itulah puisi berjudul "Sajak Sebatang Lisong" karya W.S. Rendra yang akan selalu abadi dibenak masyarakat Indonesia. Bagaimana pendapatmu? (mg1/gus)
Sajak Sebatang Lisong Puisi Legenda W.S. Rendra
Rabu 23-08-2023,11:01 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :