Mulut Selalu Komat-Kamit, Bicara Kadang Tidak Nyambung
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Memorandum sangat kaget ketika disebut sebagai penyembah berhala. Apa yang dia maksud? Di rumah sama sekali tidak ada sebentuk patung yang bisa disembah atau apa pun yang lain. Memorandum juga tidak mengagung-agungkan sesuatu selain Dia. Apa maksudnya?
“Ketika kamu sadar bahwa sebentar lagi azan berkumandang, sementara pada saat yang sama istrimu memaksa segera berangkat belanja, apa yang kamu lakukan?” tanya Hayong.
Memorandum tidak segera menjawab. Ragu. Sebab, faktanya pada saat terjebak demikian Memorandum pasti bakal menuruti kehendak istri untuk berangkat, dengan alasan waktu salat masih panjang.
“Kau tidak sadar bahwa sejatinya kau takut kepada istrimu, padahal yang berhak ditakuti hanyalah Dia. Tidakkah bisakah meminta istrimu menunggu hingga salat berjemaah di masjid selesai?”
Mendengar pertanyaan ini, ingatan Memorandum melayang kembali ke peristiwa beberapa tahun yang lalu. Saat itu Memorandum melakukan apa yang dikatakan Hayong. Tapi, apa yang terjadi?
Sepulang Memrandum dari masjid, ternyata istri sudah melepas semua pakaian yang tadi dia kenakan. Dia juga sudah menghapus riasannya. Padahal, untuk mencapai hasil maksimalnya, istri berdandan lebih dari sejam.
Sejak itu Memorandum merasa kasihan terhadap istri karena menyia-nyiakan hasil dandan-nya. Jadi, bukan karena takut bila ada kalanya bila Memorandum terpaksa menuruti istri.
“Imanmu masih lemah. Kau masih menomorsatukan istri di atas Dia. Kau masih menuhankan istri. Masih memberhalakannya,” kata Hayong. Sangat menohok. “Kutunggu di rumah” imbuh Hayong sambil berdiri dan berjalan kea rah warung Rumiyati.
Memorandum bengong dan hanya bisa mengikuti langkah dan setiap gerakan Hayong dengan pandangan mata. Sampai dia menghilang di tikungan gang sambil membonceng Linda.
“Mulutnya selalu komat-kamit tidak jelas. Sering tidak nyambung kalau diajak bicara,” kata Udin begitu Memorandum kembali ke warung Rumiyati.
“Tidak selamanya sih,” sela Rumiyati, “Sering juga tanggapannya enak kalau diajak omong. Kalimat-kalimatnya berisi. Menthes. Aku sering diberi wejangan.”
“Lalu mengapa orang-orang menudingnya tidak waras?” tanya Memorandum.
“Ya… karena omongannya yang tidak nyambung itu. Karena suka komat-kamit sendiri. Tahu tidak, setiap Kamis dan Jumat dia selalu bertapa di gunung mana, gitu,” kata Udin, “Kudengar kau tadi ditunggu di rumahnya, Yul. Boleh aku ikut?”
“Jangan, Din. Tampaknya ada sesuatu yang ingin dia bicarakan dengan Yuli. Biar Yuli sendirian saja ke rumah Hayog,” kata Rumiyati. (bersambung)