Catatan: Eko Yudiono, wartawan memorandum.co.id Hijrah menjadi turning point (titik balik) untuk membentuk masyarakat yang berperadaban. Upacara hijrah sebagai awal tahun baru Islam diperingati dengan serangkaian upacara. Tentu maksud utamanya tidak lain sebagai media menginjeksikan ingatan-ingatan tentang nilai kejuangan. Tentang sebuah epos dalam fragmen sejarah kenabian yang telah mencapai puncak-puncak keadaban itu. (Nurcholis Madjid, 1993). Catatan Nurcholis Madjid tentunya berkaitan dengan persitiwa hijrahnya Nabi besar Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Dimana Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya memilih migrasi 200 mil ke Madinah dari ancaman kaum kafir Quraisy. Hijrah pada Mei 622 ini menjadi bagian penting untuk meletakkan pondasi ketakwaan bagi kaum Islam. Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya disambut dengan suka cita warga kota Yathrib. Saking fenomenalnya persitiwa hijrah itu, kota Yatrib berganti menjadi Al Madinah Al Munawwarah yang berarti 'Kota yang Tercerahkan'. Nah, di era modern seperti saat ini, dalam scope kecil, migrasi juga dilakukan warga dari desa ke kota. Tujuannya jelas mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya menjadi tujuan dari migrasi mereka. Kota pun berisi beragam karakter dan kemajemukan. Sebagai negara berkembang dan kota yang tengah melebarkan sayapnya menjadi Surabaya Raya, fakta-fakta sosial pun menjadi bagian yang tak terhidarkan. Termasuk sejuta permasalah di dalamnya. Surabaya menjadi magnet utama kabupaten-kabupaten di Jawa Timur. Perubahan sosial pun terjadi. Dalam melakukan perubahan sosial, seperti pernah diidentifikasi Nurcholis Madjid, ada banyak hal yang harus diperhatikan karena besarnya krisis akibat perubahan sosial yang ada di sekitar: 1) deprivasi relatif, yaitu perasaan teringkari; 2) dislokasi, yaitu perasaan tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang; 3) disorientasi, yaitu perasaan tidak mempunyai pegangan hidup akibat yang ada selama ini tidak lagi dapat dipertahankan karena terasa tidak cocok. 5) Maka perubahan sosial dengan krisis-krisis yang ditimbulkannya itu, jika tidak ditangani dengan baik, akan menciptakan lahan yang sangat potensial bagi tumbuh suburnya radikalisme, fanatisme, sektarianisme, dan fundamentalisme yang dapat mengancam fakta sosial yang majemuk. Karena itu, hijrah harus dimaknai sebagai jalan perubahan yang lebih baik. Bukan terjebak pada pidato-pidato para dai dan kiai. Jika itu yang terjadi, peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram tidak lebih dari sekadar upacara atau seremonial yang segera menguap diterpa angin kemarau musim ini. Fazrul Rahman, Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas Chicago, menyebut hijrah sebagai marks of the beginning of Islamic calendar and the founding of Islamic community (1984). Yang artinya tanda awal penanggalan Islam dan berdirinya masyarakat Islam. Masyarakat Islam yang seperti apa? Pertanyaan ini harus dijawab oleh masyarakat Islam saat ini agar tidak terjebak dalam perubahan semu yang tidak sesuai dengan niat awal Nabi Muhammad SAW dalam berhijrah. Yaitu meletakkan Islam yang bukan sekadar gerakan kultural, melainkan juga sekaligus struktural. Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1445 H. Mudah-mudahan, sebagai umat Islam kita bisa berhijrah lebih baik lagi dari tahun sebelumnya. Semoga (*)
Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1445 H, Jangan Terjebak pada Perubahan Semu
Rabu 19-07-2023,10:23 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :