Anak-Anak dan Menantu Sarankan Ayah Ceraikan Ibu (1)

Rabu 05-04-2023,10:00 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Bima dan Risma (keduanya samaran) berpacaran lama. Sejak keduanya duduk di bangku SMP. Mereka menikah begitu lulus kuliah. Pekerjaan tidak pernah jadi masalah karena orang tua masing-masing berstatus pejabat. Persoalan muncul justru setelah keduanya berumah tangga. Ternyata Risma lebih mendominasi keluarga. Semua tetek bengek harus sesuai selera dan keinginan Risma. Satu kalimat saja Bima berpendapat, Risma akan mematahkannya dengan seribu kalimat. Sejuta kata. Soal pilihan kuliah anak, misalnya. Bila Risma sudah memutuskan anak itu harus mengambil jurusan ekonomi, jangan sampai si anak memilih jurusan lain. Ketika Bima ikut-ikutan membelokkan pilihan istrinya, Risma bakal berargumen tentang keunggulan dan prospektif jurusan ekonomi. Mbah Gugel saja bisa kalah referensi. Ada sifat lain Risma yang semasa pacaran tidak pernah muncul, namun sesudah menikah mewarnai tindak tanduknya. Yaitu, mau menang sendiri dalam segala hal. Akibatnya, setiap hari selalu saja terjadi silang pendapat. Dan, hal itu pasti berakhir dengan pertengkaran. Hal sekecil apa pun di mata orang lain, di mata Risma dipandang sebagai sesuatu yang besar dan pasti menimbulkan huru-hara. Contoh, suatu hari Bima terlambat pulang kerja, padahal pada saat bersamaan dia harus mengantar Risma ke dokter. Bima dikata-katain sebagai suami yang tidak sayang istri, suami yang lemot, suami yang lembek. Dll dsb dst. Kemarahan Risma bisa berlangsung semalam suntuk, bahkan ada kemungkinan bersambung hingga keesokan hari. Kasus lain, Risma yang setiap hari ditumpangi anaknya berangkat sekolah marah besar hanya lantaran sang anak  terlalu lama sarapan. Sepanjang jalan anak tersebut dibentak-bentak atau dijendul-jendul kepalanya. Persis golekan ngik ngok. Bima sering dikeluhi anak-anak soal ibunya yang kasar, suka marah-marah, dan mau menang sendiri. Mereka juga memprotes Bima yang terlalu lemah di depan ibu mereka. Tapi, apa jawaban Bima? “Kita harus sabar menghadapi ibu kalian. Memang sudah wataknya begitu. Kita harus sadar. Harus sabar. Kalau tidak, di rumah kita akan selalu pecah peperangan.” “Tapi sampai kapan?” kejar anak-anak. Yang bisa dilakukan Bima hanya mengelus kepala anak-anak. Itu terjadi ketika anak-anal masih kecil. Tidak seperti sekarang. Mereka sudah dewasa. Yang paling kecil sudah beranjak remaja. Sampai sekarang perilaku Risma tidak pernah berubah. Hanya, akhir-akhir ini yang terpaksa harus turut merasakan kesewenang-wenangan Risma tidak lagi anak-anak. Sebagian dari mereka sudah tinggal terpisah pascanikah. Orang tua Bima yang kini harus merasakan dampak buruk tindak tanduk itu. Ibunya. Sebab, setelah ayahnya meninggal, ibunya tidak ada yang merawat. Bima sebagai anak tunggal jadi satu-satunya harapan sang ibu, sebut saja Eyang Uti, untuk di-ngengeri. (jos, bersambung)  

Tags :
Kategori :

Terkait