Oleh: Dahlan Iskan
Ups, ada calon baru lagi. Untuk Direktur Utama PLN yang lama kosong: Sinthya Roesly.
Mana yang lebih bagus? Rudiantara atau Sinthya? Saya harus mikir agak lama: dua-duanya sangat bagus. Untuk PLN.
Rudiantara sangat bagus --kalau ia mau turun pangkat (DI's Way:Antara Rudiantara). Sinthya sangat bagus --kalau dia masih cinta listrik.
Saya pun harus kembali memuji pada orang yang menemukan nama Sinthya Roesly ini.
Radar saya tidak sampai ke nama itu. Mungkin karena saya memang tidak pernah mikir lagi siapa harus jadi apa.
Mungkin juga karena saya melihat Sinthya sudah sangat mencintai dunia barunya: perbankan.
Dia sudah jadi banker. Sinthya sudah menjadi Dirut Bank Exim. Yang nama resminya adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Sejak enam tahun lalu.
Bahkan baru saja Sinthya diangkat lagi. Tiga bulan lalu. Untuk masa jabatan kedua di bank itu.
Tapi cinta pertama Sinthya memang adalah listrik.
Sinthya adalah insinyur listrik dari Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
Ketika di PLN tugasnya di bidang yang sangat listrik: P3B. Saya sudah lupa singkatan apa itu. Orang teknik, kalau bikin singkatan, tidak mempertimbangkan sastra.
Yang saya tahu --dan ini tertancap dalam otak saya-- P3B adalah otaknya PLN.
Seluruh gardu induk adalah urusan P3B. Seluruh aliran listrik urusannya di bawah P3B. Listrik mati P3B-lah yang sering jadi tertuduh --meski padahal penyebabnya sengon.
P3B pula yang berkuasa: listrik dari pembangkit mana harus dialirkan ke mana. Kalau gardu induk A bermasalah harus dicari jalan: aliran listrik dialihkan ke mana --lewat gardu yang mana lagi.
P3B adalah guru listrik saya. Sampai saya tahu bahwa listrik itu ternyata tidak bisa disebut dengan istilah ‘mengalir’. Listrik itu ternyata potongan-potongan yang dikirim per potong. Hanya saja kecepatan kirimnya begitu tinggi sehingga terlihat seperti mengalir.
Waktu itu belum begitu populer listrik jenis lain: solar cell.
Seharusnya saya sudah tahu yang seperti itu sejak SMA --kalau saja saya bukan lulusan madrasah.
Setelah berkarir matang di P3B Sinthya pindah ke bagian keuangan. Bagi Sinthya urusan keuangan itu kecil --dibanding listrik. Dengan cepat dia mendalami ilmu keuangan. Prestasinya di bidang keuangan juga menonjol.
Menteri Keuangan pun tahu ada mutiara keuangan di PLN. Lantas diminta menjadi salah satu direktur di Bank Exim. Belakangan jadi dirutnya.
Seperti juga Rudiantara Sinthya sudah 10 tahun tidak di PLN. Dia tidak terlibat dalam intrik atau pun kubu. Dia bisa lebih jernih melihat PLN.
Maka siapa pun di antara Sinthya dan Rudiantara, PLN mendapat harapan baru.
Usia Sinthya juga ideal: 50 tahun. Begitu lulus UI, gadis Riau ini meneruskan S2 di New South Wales, Australia. Gelarnya master of science. Masih ditambah lagi gelar MBA dari University of Melbourne.
Sinthya bisa dibilang profesional 100 persen. Tidak pernah tengok kanan-kiri.
Itulah kekuatannya --sekaligus kelemahannya: apakah politisi akan mendukungnya.
Kelebihan lainnya sebenarnya akan saya rahasiakan: ‘I’ - nya lima!
Jumlah ‘i’ itu seimbang dengan suaminya. Yang juga sangat ganteng. Tinggi. Besar. Pintar. Sempurna sebagai lelananging jagad.
Ada satu yang disayangkan teman-teman Sinthya: mengapa anaknya hanya satu.
Pasangan ideal-sempurna seperti itu harusnya punya anak banyak: untuk memperbaiki generasi baru Indonesia --otak maupun wajah.(*)