Ibu Dituding Pelit karena Emoh Melepas Perhiasan Warisan
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Awal semester kedua 2019, seorang lelaki 40 tahunan, sebut saja Hendri, hampir setiap hari beredar di sekitar Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya. Kami sering bertemu dan akhirnya berkenalan.
Ada jawaban menarik ketika Hendri ditanya mengapa sering mendatangi PA. Jawaban itu singkat, “Berburu istri.”
Memorandum tertawa. Tapi, Hendri segera memangkas tawa itu dengan kalimat lanjutan. Singkat juga, “Istriku lepas di sini.”
Hendri kemudian menceritakan proses lepasnya sang istri. Ia mengaku menikah muda. Saat itu usianya baru 22 tahun. Sepantaran dengan istrinya, sebut saja Risa.
Awalnya rumah tangga mereka berjalan harmonis. Lulusan perguruan tinggi yang concern pada dunia pendidikan ini mengajar di sebuah sekolah.
Status Risa sedikit lebih baik dibanding sang suami. Perempuan cantik ini tercatat sebagai aparatur sipil Negara (ASN). Seiring perjalanan waktu, lahirlah dua anak mereka. Cakep-cakep.
Pada saat itulah terjadi bencana. Hendri kehilangan pekerjaan. Sekolah tempatnya mengajar kolaps. Hendri sempat goyah. Walau begitu, ia merasa bersyukur masih dikaruniai bidang ilmu lain, selain mengajar.
Akhirnya Hendri banting setir. Bergabung dengan sebuah biro iklan dan bekerja sebagai desainer. Pendapatannya jauh lebih baik dibanding saat mengajar. Hendri sangat bersyukur.
Yang tidak disyukuri Hendri adalah perubahan sikap istrinya. Perempuan yang dulu dikenal sebagai sosok lugu itu berubah frontal menjadi sosok konsumtif. Ia selalu menuntut memakai barang-barang baru setiap menghadiri undangan.
“Barang baru itu harus bagus. Tidak mau yang KW. Kalau terpaksa KW, minimal KW-1 atau KW premium. Lama-lama dompetku jebol. Dia tidak mau mengerti dan akhirnya mengancam: kalau aku tidak bisa menuruti keinginannya, ia akan mencari sendiri dengan caranya,” keluh Hendri.
Hendri mulanya menganggap ancaman itu sebagai gertak sambal. Hendri tidak yakin Risa bakal mewujudkannya. Apa yang bisa dilakukan Risa? Ternyata keyakinan itu meleset.
Sejak itu Risa jarang pulang kerja tepat waktu. Dia sering sampai di rumah di atas pukul 22.00, padahal jam kerja ASN hanya sampai sore hari. “Ke mana saja dia? Anak-anak sering bertanya, tapi hanya dijawab lembur. Itu saja.”
Perhatian kepada anak-anak yang dulunya memang kurang menjadi tidak ada sama sekali. “Aku mencoba mengadukan sikap Risa ke mertua. Tapi, apa jawabannya? Mereka hanya mengambil anak-anak kami untuk diasuh di rumah mereka tapi membiarkan tingkah laku anaknya.”
Giliran Hendri kelimpungan karena dipisahkan dari anak-anaknya. Dia protes ke mertua. Lagi-lagi kedua orang tua itu hanya menawarkan solusi mengambang: Hendri bisa menjenguk anak-anak kapan pun sesuai keinginan.
“Ada apa ini?’” tanya Hendri dalam hati.
Jawaban pertanyaan itu terjawab ketika suatu sore Hendri menjenguk anak-anaknya. Di rumah mertua ada Risa. Perempuan itu marah-marah karena permintaannya tidak dipenuhi kedua orang tuanya.
Risa menuding orang tuanya pelit karena tidak mau melepaskan perhiasan yang melingkar di leher ibunya, peninggalan nenek. “Nenek sudah lama mati. Tidak-tidak kalau dia bangun dari kuburannya yang memarahi Ibu. Sini lepaskan kalung itu!” teriak Risa. Mendengar itu, Handri yang berdiri di pintu masuk rumah jatuh terduduk. (bersambung)