Ketahuan Berselingkuh dengan Donatur Tajir, Lantas?
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh ke tanah. Pepatah ini dirasakan Berti. Setelah merasakan kebahagiaan sekitar delapan bulanan—dengan catatan kebahagiaan itu tidak sempurna—kini kondisinya lebih menyakitkan.
Baru sekitar sepekan lalu Berti kembali bermain ke rumah. “Celaka, Tante,” kata perempuan berjilbab itu sambil menahan tangis.
“Ada apa?” tanya istri Memorandum.
“Istri Mas Bangkit mengetahui hubungan kami.” Pengakuan tersebut dibarengi pecahan tangis. Tidak keras tapi sanggup mengiris- isi hati yang mendengar.
Pelukan yang melekatkan tubuh Berti ke dada istri Memorandum tidak mampu mengurangi kesedihan Berti. Tangisnya semakin sesenggukan dan tetesan air mata makin deras.
Memorandum tak bisa berbuat apa-apa dan memilih menjauh. Tapi sejenak setelah duduk di teras lantai dua, mendadak muncul keinginan menelepon Bangkit. Kebetulan kami sudah kenal akrab. Diperkenalkan Berti yang menganggap kami seperti om dan tantenya.
Kami tersambung. Namun, Bangkit meminta kami memutuskan dulu sambungan telepon karena ada sesuatu yang harus diselesaikan. Waktu berlalu sekitar 50 menit. “Maaf Mas. Ada apa? Apa Berti ke rumah njenengan?”
“Ya, sambil menangis sesenggukan.”
“Maafkan kami,” kata Bangkit, pelan, Dia kemudian menceritaka kronologi tragedi malam itu, persis yang diceritakan Berti kepada istri Memorandum. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya Bangkit.
“Aku paham bila ada lelaki yang sampai jatuh cinta kepada Berti. Termasuk kau. Aku hanya menyayangkan cara pendekatanmu. Tidak adakah cara yang lebih baik?”
“Kami khilaf, Mas.”
“Sudahlah Itu sudah telanjur terjadi. Percuma disesali. Sekarang mari kita pikirkan bagaimana solusinya.”
Hening. Sepi. Kami seperti orang yang terjebak jalan buntu. Di depan ada jurang menganga, sementara di kanan-kiri kami ada dinding-dinding tebing tinggi. “Bagaimana menurut njenengan?” tanya Bangkit tiba-tiba.
“Setelah tahu apa yang kamu lakukan dengan Berti, istrimu marah?”
“Entahlah. Yang jelas wajahnya tidak enak. Sikap dan perkataannya kaku. Aku dimarahi, meski dengan cara yang santun.”
“Waktu itu Berti ada di sana?”
“Tidak.”
“Ajak Berti bertemu istrimu.”
“Untuk apa?”
“Minta maaf.”
Bangkit tidak menjawab. Tapi, dua hari kemudian dia menelepon. “Istriku sudah memaafkan kami. Aku dan Berti. Dia bahkan bersedia menerima Berti sebagai madu,” kata Bangkit.
“Semudah itu?” (habis)