Aguk merasa disindir. Ia bertanya dalam hati: apakah Susi sudah tahu hubungan dia vs Lia sehingga mengatakan itu? Dapat informasi dari mana? Sebelum Susi berkata lebih jauh, Aguk minta izin istirahat dengan alasan tiba-tiba kepalanya pusing. Sampai esok paginya, pembicaraan soal Lia belum tersambung. Pagi itu juga Aguk malah meluncur ke Surabaya. “Akhirnya aku bisa selamat sampai di sini,” kata Aguk. “Kamu pamit apa ke Susi?” “Ada rakor di Surabaya. Mendadak. Tolong aku, Mas. Bagaimana ini?” Memorandum kembali menegaskan agar Aguk segera memutuskan hubungannya vs Lia. Aguk hanya menggeleng-geleng. “Sebab, kau tidak mungkin menikahi Lia. Dia mahrom-mu. Dia keponakan istrimu! Apakah kamu berniat menceraikan Susi, lantas menikahi Lia? Begitu?” Aguk diam. “Kalau kau bermaksud menikahi Lia setelah menceraikan Susi, itu hakmu. Kalau memang begitu, secara syar’i memang diperbolehkan. Tapi apakah kamu tega menceraikan Susi?” Aguk masih diam. “Aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat, Mas.” “Pulang saja ke rumah. Minta maaf kepada Susi. Saat ini juga. Jangan berpikir soal Lia. Lupakan dia. Hapus dari memori.” “Aku tidak berani menghadapi Susi.” “Lalu kamu mau ke mana?” “Aku tidak tahu. Izinkan aku menginap di sini barang sehari-dua hari.” “Tidak masalah kamu mau menginap di sini semalam atau dua malam, bahkan setahun atau dua tahun. Tapi, selesaikan dulu masalahmu.” “Aku hanya butuh waktu sehari-dua hari. Aku perlu berpikir jernih dan mengajak Sampeyan ikut memikirkan masalahku. Bisa kan? Aku takut. Susi sudah menyebut nama Lia. Ini berarti dia sudah tahu hubugan kami. Aku takut!” Memorandum tidak menanggapinya, kecuali berkata, “Asem,” dalam hati. Lalu, memandangi wajah lelaki tinggi besar tersebut, yang lusuh, letih, dan tidak berdaya. Kasihan juga sebenarnya. Memorandum kemudian mempersilakan Aguk beristirahat di kamar tamu. Dari wajahnya, tampak dia seperti sudah berbulan-bulan tidak tidur. “Bagaimana kalau Susi menelepon ke sini? Apa yang harus aku katakan?” tanya Memorandum sebelum Aguk menutup kamar. “Bilang saja tidak tahu. Aku tidak ada di sini.” Sementara Aguk beristirahat, Memorandum melanjutkan tugas mulia membantu istri bersih-bersih rumah. Sekadar menyapu dan lap-lap perabot rumah. Juga, mencuci piring bekas makan semalam. Aguk tidak bangun-bangun sampai malam. Waktu salat dan makan tidak dihiraukan. Kamarnya yang digedor-gedor dari luar tidak ditanggapi. Memorandum dan keluarga pun membiarkannya. Ternyata perkiraan Memorandum tidak meleset. Aguk minta izin lebih lama menginap. “Sori merepotkan,” kata Aguk pada kesempatan makan malam. Hampir seminggu Aguk tinggal di rumah. Suatu pagi, ketika kami sedang sarapan, tiba-tiba HP Memorandum berdering. Ternyata dari Susi. “Aku harus bilang apa?” tanya Memorandum kepada Aguk. Aguk menggeleng. (jos, bersambung)
Riak Rumah Tangga Wartawan yang Ngeri-Ngeri Sedap (5)
Jumat 18-11-2022,10:00 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :