Seminggu kemudian Bik Ima lapor lagi. “Bener Nyonya. Mbak Iin di… dianu sama Tuan. Saya tidak bohong. Saya mengintipnya,” kata Bik Ima sambil menangis dan memegangi kaki Farida. Sebelum menuduh Bambang, Farida ingin melihat dengan kepala sendiri suaminya tega berbuat tidak senonoh kepada sulung mereka. Maka, dia mengajak Bik Ima menjebak Bambang. Kesempatan itu datang pada suatu Sabtu siang. Farida yang sedang turut menjaga toko di-WA Bik Ima. Dikatakan bahwa Bambang pulang dan diam-diam masuk kamar Iin. “Ayo cepet, Nyonya. Sebelum kejadian lagi. Kasihan Mbak Iin,” tulis Bik Ima. Farida bergegas pindah kursi. Dari kursi di belakang meja kasir ke kursi roda yang ditaruh di sebelahnya. Tapi sayang. Karena tergesa-gesa, pegangan Farida meleset. Perempuan berambut sebahu ini terjerembab. Wajahnya membentur pinggiran dudukan kursi roda. Lecet dan memar. Itu belum seberapa. Jatuhnya yang munting menyebabkan terbuling-guling hingga keluar ke trotoar. Para pemilik dan pegawai toko lain berhamburan ke jalan. Farida malu menjadi tontonan orang banyak. Farida ditolong tukang becak yang biasa ngetem di depan toko. Digendong hingga rumah. Tak eloknya, walau terjadi ramai-ramai begitu, Bambang yang berada di dalam tidak mendengar keributan itu. Buktinya tidak keluar. Yang mengejutkan Farida, ketika sudah masuk ke dalam rumah dan kursi rodanya didorong Bik Ima, dia mendengar suara cekikikan yang sangat keras. Suara tawa lepas Iin. Terkesan bahwa pemilik suara itu sangat bahagia. Full happy. Farida yang awalnya tergesa-gesa hendak mendobrak pintu kamar Iin spontan memberi isyarat Bik Ima untuk menghentikan dorongan kursi rodanya. “Biasanya memang gitu Nyonya. Mbak Iin selalu tertawa saat melayani Tuan. Ayo, Nyonya. Cepat. Kasihan Mbak Iin. Dia pasti sedang digituin,” kata Bik Ima. Farida bergeming. Tercenung. Dan termenung. Sepanjang hidupnya, sungguh, dia tidak pernah mendengar anak sulungnya itu tertawa demikian lepas. Tanpa beban. Sarat kebahagiaan. Air matanya pelan-pelan menetes. Mula-mula hanya satu-dua. Dan, tetesan itu semakin deras seiring dengan semakin cerianya suara tawa Iin. “Nyonya? Nyonya tidak percaya pada Bibik?” kata Bik Ima dengan tanda tanya. Pelan. Suaranya bergetar Farida mengangkat tangan kanan, memberi isyarat Bik Ima untuk diam. “Nanti. Kita selesaikan nanti,” kata Farida, lantas meminta Bik Ima mendorong kursi rodanya agak menjauh. Ke balik dinding penyekat ruangan. Farida menunggu di sana. Setengah jam kemudian Bambang muncul. Dia kaget melihat Farida berurai air mata. “Sekarang kamu pergi,” kata Farida, “Jangan pernah kembali. Manusia laknat. Biar anak-anak aku yang urus.” Tak lama kemudian Iin menyusul ayahnya keluar dari kamar. “Aku sayang Ayah,” katanya manja sambil memeluk Leher Bambang. Tangis Farda meledak. Meraung-raung kayak orang gila. (jos, habis)
Ketika Pagar Perlahan Makan Tanaman di Kamar si Sulung (5)
Sabtu 22-10-2022,10:00 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :