Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Siasat Ken Arok (3)

Kamis 21-04-2022,09:00 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Lalu ia tiba di gerbang kota Tumapel pada saat fajar masih jauh membayang. Ia berhenti sejenak lalu membaca keadaan. Setelah melakukan perhitungan singkat, tubuh Toh Kuning kembali melesat sangat cepat seperti percikan api dari sebuah ledakan dahsyat. Tembok kota yang tinggi pun ia lewati seolah sebuah benda yang pendek. Kini ia berada di sisi selatan alun-alun kota Tumapel. Ia melihat keadaan yang lengang dan sunyi. Ia dapat mendengar langkah kaki para peronda yang masih jauh darinya. Segera Toh Kuning meluncur ke sebuah lorong sempit yang menjadi batas dua pekarangan yang luas. “Di mana aku harus mencari Ken Arok?” pertanyaan itu muncul dalam benak Toh Kuning. Sekalipun ia dapat menduga jika Ken Arok pasti berada di dalam lingkungan istana Tumapel, namun ia belum dapat memastikan kebiasaan Ken Arok setiap harinya. “Ah,” seru tertahan Toh Kuning dan malu pada keadaan dirinya sendiri. “Bukankah aku seorang prajurit Kediri?” Lalu ia mengusap-usap wajahnya dan tersenyum sendiri. Ia berbenah diri dan mencari penginapan yang berada di tengah kota Tumapel. Ia mendapati penjaga penginapan dalam keadaan menahan kantuk. Tanpa banyak pertanyaan, penjaga itu mengantarkan Toh Kuning ke sebuah bilik yang terletak di ujung lorong. Penjaga itu berkata seperlunya tentang kebiasaan penginapan di pagi hari. “Kalau Ki Sanak terlambat bangun pagi, wedang jahe dan air kacang hijau yang direbus akan menjadi kering di atas meja,” kata penjaga itu sambil berlalu dari hadapan Toh Kuning. Toh Kuning membaringkan tubuhnya dan angan-angannya melayang pada Ken Arok. Ia tidak menyangka Ken Arok ternyata dapat berbuat sejauh itu. Toh Kuning sebelumnya hanya menduga apabila Ken Arok akan mengambil jalan seperti dirinya. Sebuah jalan sederhana untuk memberikan yang terbaik bagi cita-cita dan harapan gurunya. Namun Toh Kuning akhirnya dapat menerima kenyataan, bahwa perubahan yang terjadi dalam diri Ken Arok merupakan akibat dari kejadian yang berlangsung terus menerus. “Tentu saja satu peristiwa ke peristiwa yang lain akan membuat goresan dalam batinnya. Pembicaraan dengan orang lain yang berbeda tujuan hidupnya tentu juga dapat mempengaruhi Ken Arok,” gumam Toh Kuning dalam hatinya. Ia lantas memejamkan kedua matanya dan berangsur-angsur ia menilai dirinya dengan melihat jauh ke dalam hatinya. Saat kabut perlahan mulai menyingsing dari kota Tumapel, Toh Kuning telah berdiri di depan pintu penginapan. Sekilas ia melihat berkeliling dan terlihat olehnya sedikit orang yang berlalu lalang di jalanan depan penginapan. Ia menarik napas dalam-dalam lalu memeriksa pakaian prajurit yang telah ia kenakan. Sekejap kemudian ia mengayunkan kaki menuju istana Tumapel. Gardu penjagaan terlihat olehnya dan Toh Kuning telah bersiap dengan alasan kedatangannya. Usai bertegur sapa dengan para penjaga, Toh Kuning menaiki beranda depan dan menunggu Akuwu Tumapel. “Ki Lurah,” sapa Tunggul Ametung sesaat setelah ia muncul di beranda. Toh Kuning membungkuk hormat dan keduanya telah bercakap ringan mengenai berbagai masalah. Dada Toh Kuning berdegup kencang saat teringat percakapan Ken Arok dengan orang-orang yang berada di dalam pondok di pedukuhan. Setelah  mengendapkan gejolak hatinya, Toh Kuning memberanikan diri berkata, ”Aku tidak menyangka seorang empu akan ditimpa hal yang buruk.” Tunggul Ametung memandang tajam pada lurah prajurit yang duduk di hadapannya, ia merenung sejenak lalu berkata, ”Memang tidak ada seorang pun yang mempunyai pikiran buruk tentang dia. Tetapi selalu saja ada orang yang berbeda pendapat dengan kita dan kita tidak dapat memaksanya untuk menerima pendapat kita.” “Akuwu, pembunuhan itu tentu mengguncang Tumapel yang selama ini dikenal sebagai daerah yang aman dan damai.” Toh Kuning menjalin jemarinya di depan dada. “Tidak,” jawab Tunggul Ametung, ”peristiwa itu masih tertutup rapat. Aku akan mengabarkan itu apabila ada titik terang.” Ia mengajak Toh Kuning untuk menikmati makanan kecil yang tersaji di atas meja. Ia bertanya kemudian, ”Apakah kedatangan Ki Lurah mempunyai hubungan dengan pembunuhan itu?” “Saya tidak dapat mengatakan secara langsung pada Akuwu. Tentu Akuwu telah memerintahkan prajurit Tumapel bekerja keras mencari pembunuhnya,” jawab Toh Kuning. ”Tetapi keberadaan saya di sini tentu saja juga bertujuan untuk membantu Akuwu mengenai masalah itu.” Tunggul Ametung memandang ke arah lapangan luas yang terhampar di depan istananya. Ia menarik napas panjang lalu katanya, ”Kau dapat memerintahkan para prajurit Tumapel untuk melaksanakan rencana jika Ki Lurah telah bersiap untuk itu. Ki Lurah akan membawa tanda khusus dariku sehingga perintah Ki Lurah tidak akan dapat dibantah prajurit meskipun ia seorang tumenggung.” Tunggul Ametung diam sesaat. Kemudian ia berkata lagi, ”Aku telah mendengar Ki Lurah adalah orang kepercayaan Ki Tumenggung Mahesa Wunelang, jadi sepantasnya aku memberikan kepercayaan yang sama pada Ki Lurah.” Toh Kuning menganggukkan kepala dan berkata, ”Terima kasih Akuwu.” Tunggul Ametung yang merasa sudah tidak ada lagi bahan yang dapat dibicarakan kemudian bangkit, lalu melanjutkan tugasnya sebagai pemangku kekuasaan.  (bersambung)      

Tags :
Kategori :

Terkait