Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Jalur Banengan (2)

Minggu 03-04-2022,09:09 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Beberapa pekan sebelumnya, sebuah iring-iringan panjang muncul dari timur. Roda-roda pedati dan kereta kuda mengepulkan debu tipis. Cuaca hangat menemani mereka dan memberi harapan sesuatu yang lebih baik akan menyambut mereka apabila tiba di Kabuyutan Tertek. Jalanan yang berkelok dan berbatas tebing dan jurang memberi pemandangan yang berbeda bagi para pedagang yang dipimpin oleh Ki Jawani. Meski sepanjang pekan belum ada kejahatan yang terjadi di Jalur Banengan, tetapi mereka tidak berharap sesuatu yang buruk menimpa lalu menganggu kelancaran usaha mereka. Para pedagang itu sepakat untuk menyewa jasa keamanan dari sebuah kelompok pengawal bayaran. Gemeretak suara roda pedati dan kereta terdengar memecah kesunyian yang mengelilingi iring-iringan Ki Jawani. Teriakan nyaring perintah berhenti terdengar dari pimpinan pengawal yang berada di ujung depan barisan pedagang. “Apakah kita mengalami masalah?“ bertanya Ki Jawani pada seorang pengawal bayaran yang berdiri bersebelahan dengan kereta kudanya. “Tidak ada, Ki Jawani. Hanya sebuah kerikil kecil yang akan terlempar ke dalam tebing,” jawab pengawal yang bercambang tipis. Seorang lelaki dengan kain yang menutupi wajahnya berdiri tegak menghadang iring-iringan pedagang dan menatap wajah pimpinan pengawal dengan sorot mata dingin. Mendadak tangan lelaki itu meraih keris yang terselip di belakang pinggangnya. Dengan gerakan yang ringan ia melayang dan dan kini hanya berjarak tiga langkah dengan pimpinan rombongan. Baca juga : Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya - Jalur Banengan (1) Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya - Jalur Banengan (2) Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya - Jalur Banengan (3) Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya - Jalur Banengan (4) Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya - Jalur Banengan (5) “Aku mengira bahwa kalian adalah sekelompok pedagang yang berhasil mengubah keadaan,” berkata orang yang menghadang rombongan. Ia bertubuh sedang dengan kaki yang kokoh seperti batu karang. “Menyingkirlah, Ki Sanak! Kami tidak mempunyai urusan yang harus diselesaikan denganmu,” kata pemimpin rombongan dari atas punggung kuda dengan sebatang pedang yang terjulur. “Ya,” kata penghadang itu. “Aku akan menyingkir dari hadapanmu dengan beberapa benda yang dapat kau jadikan sebagai hadiah untukku.”  Ia menutup kalimat dengan tawa perlahan. Ia berjalan mondar mandir di depan rombongan seperti seorang guru yang sedang mengajar di dalam bilik. Ia berkata lagi, ”Selain jumlah pengikutmu yang banyak, agaknya pedati-pedati itu juga memuat sesuatu yang dapat kami jadikan sebagai hadiah bagi pemimpin kelompok kami.” Pemimpin rombongan yang bertubuh kekar itu melompat turun dari kudanya. Dan kemudian katanya, “Lalu, apakah engkau tetap memaksa diri untuk bersikap baik pada pemimpinmu?” Lantas pemimpin rombongan memberi isyarat pada pengikutnya untuk bersiap diri. Penghadang itu menatap wajah pemimpin rombongan dengan wajah sedikit terangkat. Katanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?” Sambil menggelengkan kepala, pemimpin rombongan menjawab, ”Kami tidak mempunyai persoalan denganmu atau pemimpin kelompokmu. Tetapi jika kau ingin tetap mengambilnya, maka kami akan memberi pelajaran berharga bagimu.  Kami akan menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kita saat ini dengan cepat dan tidak menyakitkan. Tetapi semua tergantung kepada keputusanmu. Seandainya terjadi perkelahian, apakah kau dapat bertahan melawan seluruh orang-orangku ?” “Oh!” kata penghadang sedikit terkejut. Ia tertawa agak keras, kemudian ucapnya, ”Kau belum mengetahui kekuatan kami. Menurut pendapatku, sebaiknya tidak ada korban nyawa atau terluka saat ini. Aku mempunyai kekuatan yang besar dan mereka telah mengepung kalian, dan aku kira sebaiknya kalian pertimbangkan dengan masak.” Pemimpin rombongan dan pengikutnya mengedarkan pandangan sekeliling namun ia tidak melihat yang mencurigakan. Ia bertanya kemudian, ” Siapakah kau, Ki Sanak? Aku harus menghormati keberanianmu dan untuk itu aku merasa perlu dengan sebuah nama.” “Seperti itukah?” bertanya penghadang itu dengan rasa kagum. Dalam hatinya, ia harus mengakui kejujuran dan kesetiaan pemimpin rombongan yang sama sekali tidak menawarkan upeti sebagai imbalan. Lalu ia menjawab seraya membuka kain penutup wajahnya, ”Aku, Toh Kuning.” “Baiklah! Dengan begitu sekarang kita akan tentukan, apakah kami akan memberi kalian sebuah tanda kenangan atau kami akan memberi hadiah pada raja kami?” kata pemimpin rombongan lalu merenggangkan kaki dan membuat persiapan membela diri. Maka sekejap kemudian pemimpin rombongan itu menerjang Toh Kuning dan berseru, ”Kau akan menyesal sepanjang hari telah bertemu dengan Ki Selaksa Geni!” (bersambung)

Tags :
Kategori :

Terkait