Juru Damai

Senin 21-10-2019,10:07 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh: Dahlan Iskan Suami-istri ini dapat kejutan: diundang ke Gedung Putih. Padahal mereka keluarga biasa. Orang Inggris pula. Kejutan berikutnya: mereka diminta masuk ke ruang oval --ruang kerja Presiden Donald Trump. Lalu terkejut lagi: ditemui Presiden Amerika itu secara khusus. Secara pribadi. Setelah itu mereka tetap terkejut --kali ini diikuti rasa tertekan. Nama sang istri: Charlotte Charles Dunn (42 tahun). Nama suami: Tim Dunn (50 tahun). Hari itu Presiden Trump ternyata ingin jadi juru damai. Agar suami-istri tersebut tidak marah lagi --kepada seorang wanita warga Amerika Serikat. Yang menabrak anak lelakinya. Sampai meninggal dunia. Wanita itu bernama: Anne Sacoolas, 44 tahun. Mengaku istri seorang diplomat Amerika di Inggris. Malam itu Ny Sacoolas selesai berkunjung ke sebuah tempat di Oxford. Di luar kota kecil Oxford. Dua jam dari London. Tempat ini dikenal sebagai basis salah satu cabang kemiliteran. Ny Sacoolas mengemudikan mobil Volvo XC90. Sebuah SUV. Menyusuri jalan keluar dari komplek militer. Menuju jalan raya. Yang tidak pernah ramai dengan lalu-lintas. Saya pernah melewati jalan ini. Mengendarai mobil sendiri. Hanya beberapa hari setelah kejadian itu. Hari itu saya dari Southampton ke Oxford. Tidak langsung masuk kota. Mampir dulu ke satu lembaga riset. Milik Universitas Ershad. Yakni universitas terbesar Iran. Yang buka cabang di Oxford. Ini bukan jalan besar yang ada pemisah jalur. Ini jalan dua arah yang hanya dipisahkan garis putih. Sang wanita akan pulang ke rumahnya dekat London. Keluar dari komplek militer itulah Ny Sacoolas belok kanan. Sepi. Ia terus mengemudi di jalur kanan. Seperti kebiasaannya di Amerika. Rupanya ia lupa: ini di Inggris. Pakai jalur kiri. Seperti di Indonesia atau Jepang. Wanita itu pun asyik terus melaju di jalur yang salah. Tak lama kemudian terjadilah ini: sepeda motor Kawasaki datang dari arah yang benar. Terjadilah tabrakan. Secara frontal. Pengemudi motor pun terbang. Terpelanting. Tewas. Namanya: Harry. Umur: 19 tahun. Baru tamat SMA. Mau masuk universitas. Harry itulah anak lelaki pasangan Charlotte-Tim. Bulan Agustus adalah musim orang mengendarai motor di Inggris. Juga di Amerika atau Eropa. Malam hari tidak sepanas siang. Harry penggemar sepeda motor. Sudah menjelajah ke banyak wilayah di Inggris. Ia juga juga suporter sepak bola. Tiga hari setelah kecelakaan itu pertandingan sepak bola di kota kecil itu dihentikan sejenak. Untuk mengenang almarhum Harry. Saya mengikuti terus perkembangan kejadian itu. Dari hari ke hari. Drama yang lain terjadi pula. Jasad Harry itu ditemukan atas pengaduan pengguna jalan. Ny Sacoolas sendiri tidak menghentikan mobilnya. Terus melaju ke rumahnya. Polisi akhirnya menemukan siapa penabrak sepeda motor tersebut. Lalu memeriksanya. Kepada polisi Ny Sacoolas berjanji untuk kooperatif. Dan tidak akan meninggalkan Inggris. Ternyata Ny Sacoolas terbang pulang ke Amerika. Menggunakan fasilitas diplomatik. Bahkan ia merasa tidak harus mempertanggungjawabkan kejadian itu --menggunakan prinsip kekebalan diplomatik. Inggris heboh. Politisi pun ribut bersuara. Pun Perdana Menteri Inggris Boris Johnson merasa harus ikut turun tangan. Di Inggris dibuka tagar khusus. Untuk pengumpulan dana. Usaha apa pun akan ditempuh. Untuk membuat Sacoolas kembali ke Inggris. Charlotte sendiri terus mengimbau agar Ny Sacoolas mempertanggungjawabkan perbuatannya. “Anda kan juga seorang ibu. Tentu bisa merasakan bagaimana kehilangan anak,” ujar Charlotte kepada media. Tapi Charlotte juga tahu Ny Sacoolas sudah terbang ke Amerika. “Saya masih berharap suatu saat nanti bisa bertatap muka dengan ibu itu,” tambah dia. Apa yang akan dia lakukan kalau bisa bertemu Ny Sacoolas? “Hanya ingin mengutarakan perasaan seorang ibu yang kehilangan anak,” katanya. Meski menggunakan hak kekebalan diplomat, suami Ny Sacoolas bukan diplomat yang bekerja di kedutaan atau di Kemenlu. Jonathan Sacoolas adalah pegawai negeri di Angkatan Udara Amerika. Mungkin sekali ia seorang intelejen. Rupanya kerjasama dua negara membuat Ny Sacoolas ke komplek RAF malam itu. BoJo pun --Boris Johnson-- berjanji akan menyinggung soal kematian Harry kepada Trump. Rupanya BoJo benar-benar menepati kata-katanya --menghubungi penguasa Gedung Putih. Maka suami-istri itu pun ke Amerika. Sama sekali tidak mengira seorang presiden Amerika mengundangnya ke ruang ovalnya. Lebih tidak menyangka lagi akan ada adegan berikut ini: diminta bisa bertemu Ny Sacoolas di ruang itu. Untuk menyelesaikan persoalan mereka. Charlotte mengaku kaget ketika diberitahu bahwa Ny Sacoolas sudah ada di Gedung Putih juga. Sudah siap untuk ke ruang oval saat itu juga. Charlotte terdiam sesaat. Kali ini Trump yang seharusnya terkejut: Charlotte menolak dipertemukan dengan pembunuh anaknya --di tempat dan di suasana seperti itu. Charlotte merasa seperti ditodong senjata. Lalu pamit. Saat salaman pamitan itulah Charlotte mengatakan kepada Trump: Saya berharap Mr Presiden juga bisa merasakan apa yang dirasakan seorang ibu ketika anaknya tewas. Trump --menurut Charlotte-- menjawab: ia bisa merasakannya. Lalu mengeratkan salamannya dan penepuk tangan wanita itu. Ny Charlotte mengatakan dirinya tetap ingin bertemu Ny Sacoolas. Tapi harus di Inggris. Dan harus atas kesukarelaan Ny Sacoolas. Hati wanita yang lembut bisa lebih keras dari chassis mobil Volvo. Belakangan begitu banyak yang harus didamaikan oleh Trump. Sebagian besar menyangkut permusuhannya sendiri: lihat daftar ini. - Dengan Nancy Pelosi, ketua DPR --yang kemarin walk out dari pertemuan yang diprakarsainya. - Dengan ketua tim impeachment atas dirinya. - Korut, Iran, Syiria, Venezuela, dan batu besarnya: Tiongkok. - Banyak lagi. Trump sudah menggunakan kehebatan kekuasaannya. Dengan yang besar-besar itu belum bisa damai juga. Dengan yang kecil tadi tidak berhasil pula. Hati wanita memang lembut. Selembut debu gurun Gobi. Tapi bila sudah masuk mata bisa bikin sakit yang tak terobati.(*)  

Tags :
Kategori :

Terkait