Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Pencarian yang dilakukan Yeti terhadap Aik, ternyata, tidak terhenti di tengah keputusasaan. Kehilangan yang tanpa diketahui latar belakangnya justru memacu Yeti lebih bersemangat melacak jejak sahabat karibnya itu.
Tidak tanggung-tanggung, Yeti menapaktilasi jejak Aik sampai mengacak-acak Kota Santri Gresik untuk mencari tempat tinggal kakek neneknya. Sayang, hasilnya nihil. Yang mengagumkan, perjalanan Yeti bahkan sampai ke Samosir.
Lima kecamatan di Kabupaten Samosir dijelajahi, mulai Kecamatan Panguruan, Pilipi, Onan Runggu, Nainggolan, hingga Kecamatan Harian dikeluarmasuki. Mata dan telinga dipertajam. Tidak ada informasi apa pun.
Di tengah rasa lelah, Yeti berniat menghibur diri mengarungi pinggiran Danau Toba dengan jalan kaki. Tepatnya di Desa Silalahi. Waktu itu pagi sudah hendak berganti menjadi siang. Sekitar pukul 09.00-an.
Ketenangan dan kesejukan serta kebersihan udaranya memasokkan kesegaran oksigen ke paru-paru dan otak Yeti. Dia berhenti di bawah rindang pepohonan tepian danau. Menyandarkan punggung dan meluaskan pandangan ke tengah dan area sekitar danau.
Saat itulah Yeti melihat orang berkerumun di sebuah bangunan tradisional tak jauh garis tepi danau. Sepertinya mereka menggelar pesta. Menarik. Yeti yang pecinta alam segera mengeluarkan teropong dari tas punggung. Ingin melihat keramaian itu dari dekat.
Set-set-set… Yeti menyetel fokus pandangan melalui teropong. Deg. Hatinya berdetak keras. Di balik kaca teropong itu dia melihat sosok yang amat dikenal: Aik.
Ketika itu Aik memakai busana pengantin. Cantik sekali. Tapi, siapa lelaki di sampingnya? Tidak begitu jelas. Yeti berusaha mendekat. Dari jarak sekitar 20 meter, Yeti baru bisa mengenali lelaki tadi. Pemuda berusia sekitar 30 tahunan. Cakep. Sepertinya berdarah campuran. Ada garis wajah Aribia. Lebih tepatnya Turki.
Spontan Yeti terduduk lemas. Hatinya patah. Tidak menjadi dua, melainkan berpenggal-penggal. Pecah berkeping-keping. Kepalanya yang tadinya terasa sejuk teruapi udara segar berubah menjadi sekam yang membara.
Perlahan Yeti melangkahkan kaki menjauh. Namun baru tiga langkah, dia berbalik dan justru mendekati sejoli yang sedang berdiri anggun di tengah pesta upacara.
Dengan menahan rasa yang berkecamuk di dada, Yeti mengulurkan tangan kepada pengantin perempuan, “Selamat menjalani hidup baru.”
Setelah itu, tanpa berkata lagi dia putar badan dan berlari. Setengah jam tanpa henti. Yeti baru berhenti ketika pelahan-lahan tubuhnya lunglai dan jatuh ke tanah. Sebuah taman di pinggir jalan.
Tidak ada seorang pun yang melihatnya. Yeti membiarkan tubuhnya tergeletak di atas permadani rerumputan. Matanya memandang langit, yang waktu itu sedang tertutupi awan tipis berarak.
Baru sekitar sejam kemudian, Yeti mengangkat tubuhnya dan mencari tempat yang lebih nyaman untuk beristirahat. Dia berencana secepatnya menuju hotel, berkemas untuk selanjutnya ke bandara dan terbang ke kembali Surabaya. (bersambung)