Oleh: Dahlan Iskan
Saya ketemu anak Bekasi di Manchester. Ia bersama istri: Iymel. Mereka lagi mborong jersey Manchester City.
Dua tas besar mereka penuh dengan belanjaan serba City.
Nama anak muda itu Agus Yahya Sukmana. Umur 30 tahun. Tasnya merk Gucci. Serasi dengan tas istrinya: Hermes. Dengan sepatu kets merk Gucci pula.
Pekerjaan sehari-hari Agus jualan sate.
“Saya menabung sejak tiga tahun lalu. Untuk bisa ke sini,” ujar Agus. “Saya penggemar berat Manchester City,” tambahnya.
Agus Yahya asli Bekasi. Istrinya juga. Pernah pacaran ketika masih di SMA. Lalu putus. Akhirnya bertemu kembali --sampai di pelaminan.
Setamat SMA Agus kuliah di Assyafiiyah. Jurusan kesehatan. Lulus. Tapi pekerjaan pertamanya mengikuti jejak ayahnya: menjadi pegawai PDAM Bekasi.
Saya memang lagi mampir Manchester. Ingin melihat arsitektur stadion baru, Etihad Stadium, Manchester City. Yang kapasitasnya 55.000 penonton. Yang memang sedap sekali --mengikuti perkembangan arsitektur mutakhir.
Tentu saya juga meninjau dalamnya. Ke ruang ganti pakaian pemain tamu. Yang biasa-biasa saja.
Lalu ke ruang ganti pemain tuan rumah. Yang istimewa. Yang bentuknya setengah melingkar. Di situlah pelatih City Josep “Pep” Guardiola menguraikan taktik dan strateginya kepada pemain. Sebelum pertandingan dimulai. Atau saat turun minum.
Saya juga ke tempat pemanasan. Yang sekaligus gym. Dengan alat-alat khusus yang modern.
Salah satunya meja pingpong. Ups, mirip meja pingpong. Meja ini memang dipasangi net mirip net pingpong di tengahnya. Tapi ujung mejanya setengah bulat. Bukan siku.
Ternyata meja pingpong itu untuk latihan kiper. Juga untuk latihan ketepatan menanduk bola.
Saat masuk ke lapangan saya sampai mendongak. Begitu megahnya. Kagum. Seperti saat saya muda pertama masuk Gelora Bung Karno dulu.
Tentu saya juga sempat merasakan duduk di kursi pelatih. Di pinggir lapangan. Dan, yang termodern, saya bisa seolah-olah bersama pelatih Guardiola. Seperti lagi memberikan keterangan pers berdua. Di ruang temu wartawan.
Tapi saya tidak akan sempat nonton pertandingan Sabtu ini. Jadwal saya ke Cardiff. Tepatnya ke suatu tempat di luar Kota Cardiff --di wilayah Wales. Juga masih harus ke Swasea.
Saya tidak menyangka bisa bertemu pedagang sate di stadion Manchester City. Tepatnya di toko suvenirnya.
“Tidakkah Anda merasa boros datang ke sini?” tanya saya.
Ternyata tidak. Biar pun harus membeli karcis Rp 7 juta untuk mereka berdua.
“Anggap saja ini reward untuk kerja keras saya pak. Sekalian ajak istri dan anak,” jawabnya.
Apalagi sang istri juga usaha. Iymel dagang baju muslim. Secara online. Yang promosinya lewat instagramnya.
Agus Yahya sendiri baru tiga tahun jualan sate. Saat memulai umurnya 27 tahun. Tapi kedai satenya kini sudah sembilan tempat.
Semuanya sate Taichan.
Sate ayam yang baru populer sekitar 10 tahun terakhir. Yang daging ayamnya disate tanpa bumbu apa pun. Tanpa kecap atau kacang. Setelah disate barulah diberi jeruk nipis dan sambal.
“Waktu itu sate Taichan memang lagi rame. Saya ikut saja. Alhamdulillah berhasil,” ujar Agus.
Ia sendiri baru sekali makan sate Taichan. Di Bekasi. Enak sekali, katanya. Lalu terpikir untuk usaha sate Taichan.
Sebelum memulai Agus membentuk tim. Untuk merumuskan rasa sambelnya. Agar berbeda dengan umumnya sate Taichan. “Ternyata resep tim kami disukai konsumen,” katanya.
Yang pertama ia buka justru di Bandung. Baru kemudian Bekasi. Bogor. Tomang, Jakarta Timur. Surabaya. Malang. “Sebentar lagi buka di Jakarta lagi,” kata Agus.
Waktu memulai itu Agus sudah berstatus pegawai PDAM. Begitu usaha Taichannya maju Agus memutuskan berhenti dari PDAM. Biar fokus.
Dan ia tidak menyesali keputusannya itu. Kalau jadi pegawai terus mana mungkin bisa ke Manchester.
“Saya suka Manchester City sejak Sheikh Mansour membeli klub ini,” kata Agus --tentang Sultan Abu Dhabi itu.
Sebelum itu, katanya, ia ngefan kepada yang umumnya orang Indonesia suka saat itu --Liga Italia. Khususnya AC Milan.
Betapa banyak Liga Italia kehilangan pendukung Indonesia. Sejak tidak ada TV yang menyiarkan langsung Seri A Liga Italia. Sejak sekitar 15 tahun lalu.
Agus pun bisa jadi bukti. Bahwa karyawan bin karyawan ternyata mampu berbisnis.
“Sebenarnya saya baru sekali makan sate Taichan. Tapi langsung terkesan. Enak sekali,” kata Agus. Sejak itulah ia terpikir jualan sate.
Kebetulan ia punya teman di Bandung. Yang menawarkan ruko untuk dipakai. Ia pun langsung membuka usaha Taichan. Dengan nama Taichan Bengawan.
Ke Manchester ini Agus tidak punya acara lain. Ya hanya nonton sepak bola itu. Padahal jatah waktunya satu minggu. Ia hanya sempat mampir ke Kota Liverpool. Yang dari Manchester memang hanya selemparan batunya Hulk. Hanya satu jam naik bus umum.
Yang satu minggu lagi ia habiskan untuk jalan-jalan di London. Ke Istana Buckingham dan tempat wisata lainnya.
Berapa lokasikah target Agus di bisnis sate Taichan?
“Saya tidak punya target pak. Mengalir saja,” katanya.
Mengalir saja.
Sejauh-jauhnya. Sederas-derasnya.(*)