Oleh: Dahlan Iskan
Dr Mahathir Mohamad (94 tahun) membuat tokoh seperti Prof. B.J. Habibie belum pantas meninggal dunia.
Usia Pak Habibie ‘baru’ 83 tahun. Saat beliau wafat di RSPAD Gatot Subroto Rabu (11/9/2019) sore kemarin.
Saya harus mengenang beliau sebagai ‘bapak demokrasi’ Indonesia.
Biarlah para ilmuwan yang menulis kenangan ini: bahwa beliau adalah juga bapak ilmu dan teknologi Indonesia.
Dunia perfilman Indonesia sudah mengabadikan beliau --sebagai ‘Bapak Para Suami’ Indonesia.
Saya sendiri mengenal beliau lebih sebagai orang media. Beliaulah yang membuat sejarah: tiba-tiba saja beliau berani menghapus segala perizinan surat kabar.
Padahal, sebelum beliau menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia, dunia pers sangat gelap. Indonesia termasuk negara yang tidak punya kebebasan pers.
Zaman itu surat kabar dihantui ancaman bredel. Departemen Penerangan semacam momok bagi dunia pers. Kopkamtib sangat menakutkan.
Untuk menerbitkan surat kabar diperlukan izin yang begitu banyak. Saya pernah membuat daftarnya: 16 izin. Termasuk yang disebut rekomendasi dari PWI dan SPS. Pusat dan daerah.
Tentu ada dua kritik atas gelar ‘Bapak Demokrasi’ itu.
Pertama, waktu pers terbelenggu Pak Habibie sudah menjabat Wakil Presiden. Mengapa tidak berjuang sejak saat itu.
Kedua, kebebasan pers itu begitu bebasnya. Banyak yang bilang ‘kebablasan’. Atau: ‘sekali merdeka, merdeka sekali’.
Tapi, kami, orang pers, senang sekali. Keberanian Pak Habibie itu di luar dugaan kami. Padahal Menteri Penerangan-nya saat itu seorang jenderal: Yunus Yosfiah.
Kami sendiri sering waswas dengan kebebasan yang begitu bebasnya. Lebih bebas dari Amerika. Di sana, untuk menerbitkan koran, setidaknya harus memberi tahu kantor pos. Di sini, memberi tahu RT pun tidak perlu.
Tentu masih ada keberanian beliau lainnya: membebaskan tokoh-tokoh politik yang ditahan. Tidak layak ada orang dimasukkan penjara hanya karena pandangan politik yang berbeda. Lalu dicari-cari kesalahan mereka.
Kami pun, para tokoh pers, akhirnya menarik kesimpulan. Itu tidak bisa dipisahkan dari latar belakang Pak Habibie. Yang puluhan tahun hidup di Jerman. Di sebuah negara demokrasi.
Bagi orang seperti Pak Habibie beda pendapat itu biasa. Jerman telah membentuk kepribadian demokrasinya.
Sewaktu menjabat Menteri BUMN saya sowan beliau. Saya ingin mendengar gagasan pesawat terbang beliau.
Siapa tahu ada jalan keluar.
Dua minggu lalu saya masih berkirim surat kepada beliau. Saya minta izin mengganggu beliau. Agar membolehkan 350 calon mahasiswa ke kediaman beliau. Mereka akan berangkat kuliah di 9 universitas di Tiongkok. Atas beasiswa yang diusahakan yayasan kami.
Beliau sudah menyatakan. OK. Tinggal diatur waktu dan kursi-kursinya.
Para calon mahasiswa itu sudah begitu senang. Akan bisa mendapat wejangan beliau.
Tulisan ini harusnya 1 juta halaman. Agar memadai dengan jasa beliau. Terlalu banyak yang beliau sudah perbuat.
Tapi saya lagi di Inggris. Saat mendapat kabar duka ini. Saya lagi dalam perjalanan dari Skotlandia ke Irlandia. Saya mampir dulu ke sebuah tempat. Untuk menulis naskah demi Pak Habibie ini.
Akhirnya Pak Habibie kembali membuat bukti: begitu rapuh fisik seorang lelaki --setelah ditinggal istrinya, cintanya, dan kekasihnya. Dan itu baru sembilan tahun lalu.(*)