Oleh: Dahlan Iskan
Getah itu sampai ke London.
Sebagian orang Hongkong mendemo perwakilan Inggris. Mereka minta status BNO disempurnakan.
Saat ini terdapat 170 ribu orang Hongkong yang berstatus BNO --warga negara Inggris di luar negeri. British National Overseas.
Mereka orang Hongkong. Tionghoa. Mereka diakui sebagai warga negara Inggris. Tapi hak-hak mereka tidak penuh.
Misalnya: tidak boleh tinggal di Inggris. Kalau ke Amerika tetap harus memiliki visa.
Ke Inggris memang tidak perlu visa. Tapi maksimal hanya boleh tinggal selama enam bulan.
Status BNO itu dulunya diberikan sebagai kompromi. Untuk mengatasi besarnya keinginan orang Hongkong pindah ke Inggris. Yakni saat jajahan Inggris itu diserahkan kembali ke Tiongkok. Di tahun 1997.
Tentu Inggris terbebani. Kalau permintaan itu dipenuhi akan menimbulkan masalah di dalam negerinya. Tiba-tiba saja begitu banyak keturunan Tionghoa masuk Inggris.
Saat Hongkong kembali bergejolak seperti sekarang ini mereka gundah.
Kini mereka menuntut hak penuh. Agar disamakan dengan warga negara Inggris lainnya.
Artinya: mereka ingin pindah ke Inggris.
Hongkong memang kacau tiga bulan terakhir. Demo besar-besaran tidak juga reda --demo anti pemerintah. Yang sebenarnya itu demo anti-Tiongkok.
Senin kemarin demo itu memasuki babak baru lagi: mahasiswa di tujuh universitas terbesar di Hongkong mogok kuliah.
Senin 2 September itu mestinya hari pertama masuk kuliah. Setelah libur panjang musim panas.
Tapi mereka tidak mau kuliah. Mereka turun ke jalan. Puluhan ribu anak muda tumpah ke arena demo.
Mogok kuliah itu tidak hanya akan sehari itu saja. Seterusnya. Sampai tuntutan pendemo dipenuhi.
Ini sudah hari ke-90. Demokrasi di Hongkong membolehkan demo seperti itu. Tindakan mencegah demo bisa dianggap melanggar perjanjian serah-terima tahun 1997 lalu.
Inggris bisa punya alasan mengambil kembali Hongkong. Dibantu sekutunya.
Betapa tersiksanya polisi Hongkong. Tiap hari dimaki. Di-bully. Diserang. Tanpa bisa melakukan perlawanan. Jumlah pendemo tetap saja besar. Sudah 1.100 orang ditangkap. Yakni mereka yang bisa dikenakan pasal melawan hukum. Misalnya melakukan tindakan perusakan fasilitas umum.
Tapi setelah penangkapan itu pun demonya tetap besar. Dan mengeras. Salah satu yang ditangkap itu anak berumur 12 tahun. Begitu kecil sudah ikut bergerak.
Sejauh ini tuntutan mereka masih sama: lima tuntutan. Yakni: batalkan RUU ekstradisi, ampuni semua pendemo yang ditangkap, bentuk komisi independen untuk kekerasan yang dilakukan polisi, perbaiki tata cara pemilihan umum, dan cabut pernyataan bahwa demo itu sebagai kerusuhan.
Belum ada peningkatan tuntutan. Misalnya, agar Carrie Lam mengundurkan diri. Pemimpin tertinggi Hongkong itu tetap tegar.
Pemerintahnya tetap ingin menegakkan hukum. Demo itu, menurut pemerintah, banyak yang melanggar hukum. Misalnya melakukan perusakan. Atau memusuhi aparat negara.
Yang dirusak adalah gedung DPR, lambang negara Tiongkok, stasiun-stasiun kereta bawah tanah, kamera-kamera jalan, laboratorium cuaca (dikira kamera pemindai), bendera Tiongkok (dibuang ke laut) dan banyak lagi.
Yang juga pasti melanggar adalah demo yang menyasar bandara. Sampai seribu penerbangan batal.
Demo ke bandara ini begitu dramatisnya. Berhari-hari pula. Bandara yang termasuk tersibuk di dunia ini pun sampai lumpuh.
Setelah itu otoritas bandara Hongkong ke pengadilan. Untuk minta kepada pengadilan agar daerah bandara dinyatakan terlarang untuk didemo.
Pengadilan menyetujui permintaan itu. Pengadilan memutuskan bandara termasuk sangat vital. Tidak boleh didemo seperti itu.
Otoritas kereta bawah tanah juga ke pengadilan. Minta hal yang sama. Pengadilan juga mengabulkan: stasiun kereta bawah tanah tidak boleh jadi tempat demo.
Tapi pendemo juga mengabaikan dua perintah pengadilan itu.
Turisme turun 30 persen.
Hotel-hotel mulai mengurangi karyawan.
Iran pun minta agar pertandingan sepak bola dipindah dari Hongkong. Tanggal 10 September nanti Iran harus ke Hongkong. Untuk menjalani babak prakualifikasi Piala Dunia di situ.
Demo jalan terus.
Salah satu ‘bensinnya’ adalah wanita muda. Yang mata kanannya harus dioperasi. Entah terkena apa.
Pendemo mengklaim mata itu terkena tembakan polisi. Lalu jadi isu kemanusiaan yang besar.
Pendemo pun banyak yang marah. Mereka membawa tulisan ‘mata harus dibayar mata’. Banyak juga pendemo yang menutup sebelah matanya. Sebagai bentuk solidaritas - -sekaligus ejekan.
Sebaliknya polisi.
Kata polisi, mata wanita itu terkena ketapel pendemo sendiri. Peluru foam tembakan polisi tidak bisa menimbulkan luka seperti itu. Apalagi si wanita mengenakan kaca mata.
Kini polisi minta rumah sakit untuk terbuka: seberapa parah sebenarnya luka di mata itu. Yang ternyata, kata polisi, tidak sampai mengancam kebutaan sama sekali. Wanita itu hanya lima hari di RS. Sudah boleh pulang.
Tapi isunya sudah terlanjur besar: terkena tembakan, terancam buta, dan polisi begitu biadabnya.
Seberapa besar pun demo itu awalnya (9 Juni), tidak ada yang mengira akan sepanjang ini. Dan separah ini.
Padahal 1 Oktober nanti Tiongkok ulang tahun. Yang ke-70 pula. Angka yang dianggap penting.
Persiapan parade besar-besaran pun sudah dilakukan. Untuk menunjukkan keberhasilan modernisasi Tiongkok.
Tapi apa yang terjadi di Hongkong bisa mengganggu suasana selebrasi itu.
Entah apa yang direncanakan pendemo untuk ‘menyambut’ HUT itu.
Entah apa pula yang direncanakan Tiongkok untuk mengatasi gangguan itu.
Menurut perjanjian, Tiongkok diizinkan turun tangan. Kalau pemerintah Hongkong memintanya.
Inggris sendiri sudah menentukan sikap. Dua hari lalu. Tidak akan bisa memenuhi tuntutan pemegang paspor BNO itu.
“Mereka harus menaati doktrin ‘satu negara dua sistem’ yang menjamin kemerdekaan dan kebebasan mereka,” begitu pernyataan pemerintah Inggris yang disiarkan secara luas di media London.
Hongkong pun kian ruwet.
Intinya, pendemo itu sebenarnya ingin Hongkong merdeka dari Tiongkok. Tapi tidak berani terang-terangan. Juga ingin melawan Tiongkok. Tapi tidak berani sendirian.(*)