Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Jumat, 16 Agustus 2019, lalu Memorandum bersama Pak RT menjemput ustaz yang akan memberikan tausiah malam tirakatan. Karena masih sore, Pak RT mengajak lewat Kembang Kuning untuk menuju rumah sang ustaz di Gresik.
“Saya ingin tahu masih ada nggak PSK-PSK keleleran di jalanan,” kata Pak RT yang masih aktif sebagai personel sipil Polri tersebut.
Mendengar ini, Memorandum teringat peristiwa sekitar 20 tahun lalu, saat bertugas di Bojonegoro. Waktu itu Memorandum ikut rombongan panitia pengajian yang digelar dalam rangka hajatan resepsi pernikahan.
Singkat cerita, kami menjemput ustaz atau sang kiai di rumahnya di Singgahan, Tuban. Keunikan pertama tarasa ketika kiai meminta kami memarkir mobil di halaman samping rumahnya yang luas.
Kami diajak naik mobilnya. Memorandum—waktu itu masih bekerja di media lain—dipersilakan duduk di samping sopir. Kiai Azis sendiri yang memegang kemudi.
Dalam perjalanan dari Singgahan, Tuban, ke tempat acara di kawasan Ledok Wetan, Bojonegoro, ada peristiwa menarik. Amat menarik. Sekadar tahu, kiai paruh baya itu, sebut saja Azis, dikenal sebagai sosok yang amat nyentrik. Bahasa Suroboyoe: mbois. Saat dijemput dia memakai celana jins, berkaus, dan bertopi.
Obolannya santai. Tidak mengesankan dia seorang kiai. Wawasannya luas, tidak kalah dari narasumber-narasumber yang berdebat pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) besutan TVOne.
Kami ngobrol ngalor-ngidul tentang kondisi bangsa. Saat itu dia bilang, “Indonesia bakal dikuasai orang asing.”
“Dijajah lagi maksud Kiai?”
“Secara fisik tidak.”
“Maksud Kiai bagaimana?”
Kiai Azis menjelaskan bahwa prosesnya sedang berjalan. Tapi, pelan. Percepatan baru terjadi satu atau dua dekade mendatang. “Negara kita akan terjerat utang yang jaringnya sengaja ditebarkan negara asing. Ketika kita udah klepek-klepek, sudah amat bergantung, mereka dengan semau gue mengatur negara ini,” tuturnya kalem, disusul senyum tipis.
“Wah ramalan Kiai menakutkan.”
“Ini bukan ramalan. Saya membaca tanda-tanda zaman. Bagi orang-orang yang mau sedikit berpikir, mereka pasti tahu.”
“Contoh tanda-tanda zaman itu Kiai?”
“Indonesia negara terkaya di muka bumi. Saya mengibaratkan negara ini adalah kepingan surga yang dianugerahkan untuk manusia. Masalahnya, mengapa kita tidak pernah bisa menikmati kekayaan itu? Apa-apa impor. Apa-apa impor. Rakyat dicekik melalui pajak. Ke mana hasil alam kita? Asal Mas tahu, dikeruk asing dengan cara mereka.”
Tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Ternyata ada perempuan muda menghentikan laju mobil kami. Dandanannya menor. Abis-abisan. “Ada apa, Mbak?” tanya Memorandum.
“Boleh nggak aku ikut?” tanya perempuan itu, sebut saja Nani, manja.
“Eh gini, Mbak. Kami…” kalimat Memorandum tiba-tiba dipotong Kiai Azis, “Nggak nyesel ikut rombongan kami? Kami banyak lho. Ada tujuh lelaki.”
“Dikeroyok juga mau. Tapi aku lebih mau sama situ,” sela Nani sambil menuding Kiai Azis.
“Ya sudah. Silakan naik. Tolong Mas Yuli pindah ke belakang.” (bersambung)