Oleh: Dahlan Iskan
“Tulis dong soal pidato Bu Mega di Bali”.
“Tidak mau”.
“Menarik lho pak. Apalagi kalau DI's Way yang menulis”.
“Politik. Sensitif,” balas saya.
“Soal Sengon 1 Triliun itu kan juga sensitif. Kan tidak apa-apa”.
“Anda kan tidak merasakan,” kata saya.
Saya tidak terpengaruh. Tetap bertekad untuk tidak menulis pidato Bu Mega itu. Tapi penasaran. Benarkah menarik. Seperti apakah menariknya.
Saya pun buka YouTube. Di tempat yang jauh sekali dari Bali ini --lokasi kongres ke-5 PDI-Perjuangan itu. Saya ingin tahu: seberapa menarik pidato ketua umum partai pemenang pemilu itu. Untuk diri saya sendiri.
Ternyata memang menarik. Terutama siapa saja tokoh yang hadir. Siapa yang duduk di sebelah siapa. Bagaimana mimik wajah mereka --saat mendengar pidato itu. Dan terutama apa saja yang diucapkan oleh Bu Mega. Lebih terutama lagi yang di luar teks.
Terlihat jelas bahwa suasana kebatinan Bu Mega lagi happy. Bercampur sedikit geram. Juga ada rasa was-was.
Raut wajahnya cerah. Seperti lega --telah memenangkan pemilu yang berat. Rasanya Bu Mega lebih cantik dibanding awal tahun lalu --ketika lebih dua jam saya diskusi bertiga dengan Bu Mega.
Dua kali --dalam pidato itu-- Bu Mega menyebut dirinya memang cantik. Sebagai wanita. Bukan hanya sebagai politisi.
Untuk yang terakhir itu beliau mengimajinasikan dirinya sebagai titanium. Bukan lagi baja --istilah yang dulu sering dipergunakan bapaknya: Bung Karno.
Di zaman Bung Karno istilah titanium memang belum populer. Belum biasa dipakai secara umum.
Kelebihan titanium adalah --kata Bu Mega-- keras, solid tapi tidak kaku. Tidak seperti baja. Titanium bisa lentur. “Kalau titanium itu dipakai memukul orang, yang dipukul tidak terasa. Tahu-tahu jatuh. Yang dipukul juga tidak tahu siapa tadi yang memukul”.
Begitu kira-kira inti kalimatnya.
Mendengar kalimat itu publik bisa langsung berimajinasi --siapa ya yang baru saja dipukul dengan titanium Mega itu. Dan siapa yang dipakai sebagai titanium untuk memukul itu.
Istilah lain yang juga muncul dalam pidato itu adalah: kesabaran revolusioner.
Bu Mega terlihat sambil mengeluh-elus dada. Ketika mengucapkannya. Pertanda betapa dalamnya kesabaran itu --kesabaran dalam kejengkelan.
Kali ini tidak perlu imajinasi untuk memahaminya. Bu Mega sendiri yang menjelaskannya --secara cetho welo-welo.
Dulu, saat PDI-Perjuangan memenangkan Pemilu 1999, mestinya dirinyalah yang menjadi presiden.
Tapi tidak bisa. Dikalahkan di DPR. Saat itu belum ada pemilihan langsung.
Pemilu lima tahun lalu PDI-Perjuangan menang lagi. Tapi jabatan ketua DPR jatuh ke Golkar. Lewat penciptaan UU MD3.
“Saya ditipu terus. Dikerjain terus,” ujar Bu Mega. “Tapi kita jalan terus. Suatu saat pasti mencapai kemenangan,” tambahnya.
Itulah yang beliau istilahkan ‘kesabaran revolusioner’.
Dan semua itu tidak ada dalam teks pidato.
Pemilu kemarin itu PDI-Perjuangan menang lagi. Apakah juga akan ditipu dan dikerjai lagi?
“Kali ini tidak mau. Tidak mau. Tidak mau,” ujar Bu Mega. Tidak maunya tiga kali. Dengan penuh perasaan. Yang diikuti pula oleh perasaan kader partai yang hadir.
“Tidak mau. Tidak mau. Tidak mau,” teriak peserta kongres serentak.
Bu Mega pun memasuki soal susunan kabinet yang akan datang. Sambil menyebut nama Presiden Jokowi.
Nanti, kata Bu Mega, tidak bisa lagi Pak Jokowi beralasan. Misalnya, PDI-Perjuangan sudah mendapat banyak posisi --seperti Ketua DPR. Maka jumlah menteri PDI-Perjuangan empat orang saja. Itu pun sudah lebih banyak dari yang lain. Yang hanya mendapat dua menteri.
“Tidak mau,” ujar Bu Mega.
Bu Mega mengungkapkan betapa beratnya memenangkan pemilu di Jateng. Sampai harus turun sendiri ke lapangan.
“Waktu itu kami sudah begini-begini,” kata Bu Mega sambil menggerakkan jari-jari tangannya.
Maksudnya, sudah khawatir kalah. Begitu juga timnya Pak Jokowi.
“Itu gara-gara Mas Bowo mau pindah posko ke Jateng,” ujar Bu Mega. Sambil mengarahkan wajah ke Pak Prabowo. Yang duduk di deretan depan. Di sebelah wapres terpilih KH Ma’ruf Amin.
Pak Prabowo tampak senyum-senyum. Sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dadanya.
“Wong sudah tahu Jateng itu kandang banteng saya. Kok mau diganggu,” katanya sambil senyum. Hadirin pun tertawa. “Terpaksa saya turun sendiri,”" tambahnya.
Bu Mega memberi isyarat bahwa PDI-Perjuangan kan sudah tahu diri. Tidak mengganggu Jabar dan Banten. Kandangnya Pak Prabowo. Kok Jateng diganggu. Begitu kira-kira inti kalimat-kalimat beliau.
“Saya pun terpaksa menyerukan Jawa Tengah. Hayo! Bantengnya jangan hanya merumput terus. Asah tanduk kalian!” katanya. Hadirin kembali grrrr.
Beliau pun menyebutkan nama Puan Maharani. “Tahu nggak dia anak siapa?” tanya Bu Mega saat kampanye di Jateng dulu. “Puan harus mendapat suara lebih 500.000,” tambahnya.
Tentu ini terkait dengan tipu-menipu tadi. PDI-Perjuangan akhirnya menjadi pemenang Pemilu. Puan Maharani terpilih menjadi anggota DPR dengan suara terbesar. Maka kali ini tidak akan mau lagi kalau Puan tidak jadi ketua DPR.
Begitu maksudnya.
Nama Prabowo sendiri mendapat tempat khusus di pembukaan kongres itu. Bukan saja di sebelah siapa ia didudukkan. Nama Prabowo disebut sampai lima kali dalam pidato satu jam lebih itu.
Di awal pidato pun nama Prabowo sudah disebut di kelompok ‘yang saya hormati’. Yakni setelah nama Presiden, Wapres Jusuf Kalla dan Wapres terpilih KH Ma’ruf Amin. Tidak ada lagi nama lain yang disebut.
Bu Mega perlu mengucapkan terima kasih pada kehadiran Prabowo. Yang, katanya, telah ikut menghangatkan kongres itu. Yang disambut grrrrr hadirin.
“Waktu saya bertemu yang heboh itu, sebenarnya saya hanya mengatakan... Mas.. apakah mau hadir kalau saya undang ke kongres,” ujar Bu Mega.
Hadirin gerrr lagi. Pak Prabowo pun berdiri dari kursinya. Agak lama. Sambil sedikit membungkuk. Dan menangkupkan dua telapak tangan di depan dadanya.
“Sekarang ini yang tidak diundang pun minta diundang. Begitulah kalau menjadi pemenang pemilu,” guraunya.
Ups. Masih ada satu nama lagi yang disebut Bu Mega: Ahok. Yang juga hadir di kongres. Dengan jaket merah. Duduk di bagian tengah.
“Saya tidak mau panggil nama barunya...apa itu ...,” kata Bu Mega sambil mengingat-ingat singkatannya. "Be... Ce.. Pe.. Basuki Cahaya Purnama. Sulit mengingatnya. Saya tadi sampai harus menghafal,” katanya.
“Saya tetap panggil Ahok sajalah. Kan namanya memang Ahok. Nama siapa pun... Aseng, Ahok.. Kalau sudah warga negara Indonesia ya Ahok-lah.”
Pidato itu begitu sering diselingi ekspresi tubuh dan wajah. Yakni saat Bu Mega lagi menyelingi pidatonya tanpa teks. Begitu ekspresif. Ekspresi merengut. Ekspresi mencep --yang menjadi ciri khasnya. Ekspresi kegembiraan. Kadang tertawa sampai terpingkal. Ekspresi memukul. Ekspresi menghindari pukulan. Sampai terlihat, satu kali, badannya kiprah --mirip ekspresi pak Prabowo saat debat capres dulu-- jingkrak kecil menggambarkan gerak terlalu lega --setelah mengucapkan satu kalimat yang bernada telak.
Saya ingin ada pembaca yang meng ‘up load’ foto Bu Mega lagi mencep --agar tidak perlu menjelaskan apa arti mencep dalam bahasa Indonesia.
Selesai melihat YouTube itu saya berimajinasi. Membayangkan dari jauh: alangkah serunya perpolitikan di dalam negeri saat ini. Alangkah berdentingnya pertandingan antara baja dan titanium itu.
Karena itu sebenarnya tetap saja lebih baik saya tidak menuliskan ini. Agar tidak terkena serpihan baja itu.(*)