Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Aku sadar bahwa Rini (bukan nama sebenarnya) bukan perempuan baik-baik. Ia purel sebuah diskotek. Anaknya satu tanpa diketahui siapa bapaknya. Tapi tak bisa dipungkiri: hatiku tertambat kepadanya. Aku ingin mengentasnya jadi istri. Titik.
Sebelum bercerita lebih jauh, perkenalkan namaku Hery (54, samaran). Aku duda lulusan S2 sebuah universitas di Kairo. Titelku Lc dan MA. Aku mengenal pengasuh rubrik ini, makanya aku bersedia ketika disuruh mengirimkan kisah rumah tanggaku.
Dia kakak kelasku SMP di Mojokerto. Aku mengenalnya dengan amat banyak nama: George Esbe, Yoseb Putra Affandy, Liodi, Jaksa Prasetya, Jos, dan satu lagi nama yang dipakai sebagai samaran saat menulis di rubrik Alaming Lelembut sebuah media berbahasa Jawa, berpuluh tahun lalu: Mas Li.
Kembali ke ceritaku, suatu saat pada pertengahan 2015 aku diajak teman lama berkeliling diskotek-diskotek di Surabaya. Namanya sebut saja Wawan. Dia ingin menulis karya ilmiah soal purel.
Waktu itu kami masuk diskotek di kawasan jalan protokol. Jeb ajeb-ajeb, jeb ajeb-ajeb… musik berdentum keras. Kami duduk di lantai dua deretan kursi paling belakang. Pojok.
“Minum?” tanya seorang waiters.
“Air putih. Dua,” jawab Wawan.
Tidak lama kemudian kami disamperin bapak-bapak. “Hanya berdua?” tanya dia. Kami mengangguk hampir bersamaan.
“Tidak butuh teman?” Tanpa menunggu jawaban orang tersebut pergi sambil memberikan isyarat gerakan tangan agar kami menunggu sebentar. Kurang lebih 10 menit kemudian dia sudah kembali sambil membawa dua cewek.
Dia memperkenalkan gadis-gadis tersebut sebagai Rini dan Angel. “Saya tinggal dulu ya. Layani Bapak-Bapak ini dengan baik. Jangan sampai mereka kecewa,” kata lelaki tadi.
Baru berjalan beberapa langkah, lalaki tadi kembali sambil meminta maaf, “Maaf. Aku tadi lupa menanyakan, apakah Bapak-Bapak cocok dengan pilihan aku? Kalau tidak nggak papa, bisa aku tukar. Bagaimana Bapak-Bapak?”
“Mereka saja. Sudah cocok kok,” kata Wawan, yang lantas meraih pundak Angel untuk dirangkul, didekatkan ke dadanya.
“Maaf… aku sedang flu. Jadi Mbak-Mbak tidak usah terlalu dekat denganku. Ntar tertular malah berabe,” kataku sambil pura-pura batuk dan bersin. Ini caraku agar tidak terlalu didekati Rini dan Angel. Tampaknya berhasil.
Hampir dua jam kami berada di dalam. Entah apa saja yang diomongkan Wawan bersama Angel dan Rini, mereka tidak henti-hentinya bercanda. Tapi, ada yang kurasakan aneh pada Rini.
Dia lebih banyak diam. Jarang sekali tertawa. Kalaupun harus merespons canda Wawan dan Angel, dia hanya tersenyum. Itu pun sang irit. Boso Suroboyone cumak sak-critan.
Dia juga berusaha menghindar dari jamahan Wawan. Berkali-kali Wawan yang berusaha merangkulnya ditepis secara halus. Halus sekali sampai-sampai kulihat Wawan tidak merasakan adanya penolakan.
“Kenapa Mbak Rini tidak kayak Angel? Ceria dan banyak canda,” kataku suatu saat.
“Bapak juga tidak seperti Pak Wawan.”
“Kami berbeda.”
“Kami juga berbeda.” (bersambung)