Oleh: Dahlan Iskan
Dulunya anak miskin sekali. Tidak mampu sekolah. Pun hanya untuk SMA. Tamat SD ia merantau ke kota. Ke Madras --sekarang disebut Chennai.
Ia kerja serabutan. Mati-matian. Ia pernah ke peramal nasib. Yang membuatnya sangat optimistis --bahwa ia akan jadi orang sukses.
Pitchai Rajagopal benar-benar sukses.
Ia punya lebih 120 restoran di 26 negara.
Rajagopal pun menjadi cinderela. From zero to hero. Bagi keluarganya. Dan bagi orang miskin pada umumnya. Terutama di India. Lebih utama lagi di negara bagian Tamil Nadu.
Rajagopal sangat percaya dukun.
Usaha pertamanya toko peracangan (kelontong). Tidak kunjung maju. Padahal dukun sebelumnya mengatakan: nasib baiknya ada di dunia bisnis.
Rajagopal pun ke dukun lagi: kenapa bisnisnya tidak sukses.
“Bidang bisnismu salah,” kata dukun.
“Yang cocok bidang apa?” tanya Rajagopal.
“Yang ada hubungan dengan Agni,” jawab si dukun.
Ia terus memikirkan bisnis apa yang ada hubungannya dengan api dan nyala api. Bukan hanya api. Tapi api dan nyala api.
Ide baru pun datang tiba-tiba. Dipicu oleh temannya. Yang pamit mau makan siang. Ke sebuah restoran. Sejauh 5 kilometer.
Kesimpulannya: “Saya harus buka restoran di sini. Ternyata tidak ada restoran di daerah ini,” katanya dalam hati.
Tekadnya pun mantap. Ini dia. Bisnis yang ada hubungannya dengan api dan nyala api.
Rajagopal pun mendirikan restoran. Namanya Kamachi Bhavan. Ia bekerja keras di restoran itu. Tekadnya menyala-nyala.
Gagal.
Restorannya tidak maju.
Ke dukun lagi. Yang lain lagi.
“Namanya tidak cocok,” kata sang dukun.
Nama restorannya pun diganti. Menjadi Saravana Bhovan.
Jenis makanannya pun diubah. Menjadi lebih vegetarian. Cocok untuk orang India. Yang tidak makan daging sapi.
Rajagopal pun menuai harapan. Kian besar.
Ia temukan pula model manajemen kekeluargaan. Yang cocok untuk India. Sampai karyawannya tidak memanggilnya bos. Tapi annachi --lauda, kakak sulung.
Semua karyawan ia sediakan asrama. Mereka menyebutnya ‘Saravana hotel’. Gaji mereka lebih baik dari rata-rata restoran di India. Karyawan sangat loyal pada annachi. Juga pada pelanggan restorannya.
Sebaliknya sang annachi. Sangat keras. Seperti kepada adiknya sendiri. Kalau ada yang datang telat ia setrap sampai kapok.
Setelah terkenal di Madras, Rajagopal membuka franchise. Saravana Bhovan pun berkembang cepat.
Lalu datanglah permintaan dari luar negeri. Dari kota-kota besar dunia. Yang banyak imigran Indianya: New York, London, Sydney.
Saravana Bhovan buka di kota-kota itu.
Sukses. Lanjut ke 26 negara.
Restoran Saravana Bhovan terus bertambah.
Begitu juga istri Rajagopal.
Dukun menyarankan ia kawin lagi.
Diambillah istri kedua. Sukses. Sampai umur 45 tahun istrinya tetap dua.
Dua tahun kemudian Rajagopal melihat gadis remaja. Baru dua tahun lulus SMA. Namanya: Jeeva Jyothi. Ternyata Jeeva anak salah seorang asisten manajernya. Yang hari itu diajak bapaknya. Untuk ikut hadir di acara besar perusahaan.
Hati Rajagopal bergolak. Umurnya 47 tahun. Anaknya tiga. Uang sudah bisa datang sendiri. Kekayaan sudah melimpah. Tapi ia belum punya gadis itu. Ia harus mendapatkan gadis itu. Mestinya tidak sulit. Anak karyawan sendiri. Yang ia tahu betapa sulit ekonomi keluarga itu.
Rajagopal harus bisa mengambil Jeeva. Sebagai istri ketiga.
Ia pun datang lagi ke dukun: bagaimana kalau ia mengawini gadis itu.
Sang dukun justru menganjurkan dengan sangat. Itu akan bisa membuat bisnisnya lebih Jaya lagi.
Ya sudah.
Tumbu ketemu tutupnya.
Mulailah dilakukan PDKT. Terutama kepada orang tuanya. Tapi gadis itu menolak.
Jeeva sudah punya incaran sendiri: guru les matematika adik laki-lakinya. Namanya: Santhakumar.
Dua kali seminggu Kumar memberikan les pada sang adik. Mata mereka menyambung. Saling menghunjam. Seperti dalam lagu Xiao Wei --ni de wen row yen jing qiao-qiao wo de xin. Mata sendumu mengadu-aduk hatiku.
Les matematika itu menjadi tiap hari. Juga tidak lagi satu jam. Hari ke 3,4,5,6,7 untuk Jeeva. Bukan untuk adiknya.
Hubungan Kumar dengan Jeeva itu membuat hati Rajagopal mendidih. Cemburu berat.
Mendidihnya orang kaya. Mendidihnya atasan. Dan mendidihnya orang yang lagi gila cinta. Atau nafsu.
Kumar dalam bahaya.
Situasinya seperti mantra yang sering saya kutip ini: jangan pernah lawan tiga jenis orang ini --atasan, orang kaya, dan orang gila. Melawan salah satunya saja celaka. Apalagi kalau tiga-tiganya menyatu dalam satu orang. Dalam satu Rajagopal.
Kumar benar-benar dalam bahaya.
Rajagopal ke dukun. Berbagai metode perdukunan dilakukan.
Tidak mempan.
Berbagai intrik, tekanan dan ancaman dilancarkan. Tapi tidak juga mampu memisahkan hati Jeeva dari Kumar.
Rajagopal pun menerapkan teori manajemen kuno: stick and carrot.
Stick sudah dipukul-pukulkan. Tidak manjur. Maka waktunya disodorkan carrot. Rajagopal tidak kesulitan membeli carrot. Dari seluruh petani India sekali pun.
Maka dikirimlah hadiah-hadiah. Mahal-mahal. Apalagi kalau Jeeva lagi ulang tahun. Emas, uang, pakaian terus mengalir ke Jeeva. Pasti Kumar tidak mungkin bisa menyainginya.
Tidak berhasil.
Bahkan dua muda mudi ini pun ambil putusan: kawin. Agar cepat terhindar dari incaran empat kegilaan itu --kaya, atasan, gila, dan dukun.
Tapi orang tua Jeeva tidak setuju.
Penyebabnya satu: Kumar beragama Kristen.
Mentok.
Kalau sudah soal agama tidak ada jalan keluar. Siapa bilang kekuatan cinta bisa menundukkan samudera.
Rajagopal pun punya waktu tambahan. Ibarat petinju ia mendapat ‘angin kedua’.
Tapi stick sudah tidak mempan. Carrot tidak manjur.
Tinggal cara gila yang belum dilakukan.
Dan Rajagopal akan menggunakan cara itu. Ia mampu mengerahkan anak buahnya. Yang sangat loyal padanya. Untuk melakukan segala cara.
Tidak mudah.
Jeeva ternyata sudah bertekad menundukkan samudera cintanya. Jeeva lari. Bersama Kumar. Ke kota lain. Berjarak 500 km. Mereka kawin lari. Jauh dari incaran Rajagopal.
Geger. Di keluarganya.
Juga di hati Rajagopal.
Ibunya tahu Jeeva lari bersama Kumar. Tapi ke mana?
Rajagopal juga tahu dewinya lari bersama pesaingnya. Tapi ke mana?
Tapi akhirnya Jeeva tidak sampai hati --menyiksa hati ibunya. Berhari-hari.
Dari tempat pelariannya Jeeva menelepon sang ibu. Tangis meledak --lewat pulsa.
Sang ibu pun merayu putrinya agar pulang. Akan disediakan rumah pondokan --tiga gang dari rumah sang ibu.
Pulang.
Berarti menantang empat kegilaan.
Tapi orang kan sudah tahu. Mereka sudah berstatus suami istri. Sudah dirayakan pula. Di sebuah kuil Hindu di dekat kampungnya. Rajagopal pun tahu semua itu.
Itu bukan persoalan bagi Rajagopal. Toh tulisan di bak-bak truk sudah memberi mantra: kutunggu jandamu!
Juga di bak-bak truk di India.
Bukan kebetulan. Pemuja cinta pun harus makan. Cinta tidak bisa membuat perut lapar menjadi kenyang.
Kumar dan Jeeva harus bekerja.
Dulu Kumar pernah bekerja di biro perjalanan. Ia harus berhenti --untuk kawin lari. Padahal memberi les matematika tentu tidak bisa lagi memungut bayaran. Les untuk adik sendiri.
Jeeva merengek ke ibunya: minta dicarikan modal. Agar Kumar bisa membuka biro perjalanan sendiri. Seadanya.
Ibunya pun merasa harus bertanggungjawab. Sang ibulah yang meminta mereka pulang.
Ibunya bisa mencari pinjaman. Hanya saja harus ada penjamin. Muter ke mana pun baliknya ke nama Rajagopal.
Ayahnya pun menghadap ke annachi. Minta tolong. Jadi penjamin.
Jangankan penjamin. Rajagopal bahkan bersedia memberi uang. Untuk modal itu. Ini dia: sunduk marani gepuk.
Akan terbuka lagi kesempatan baginya untuk bisa sering ketemu Jeeva. Sambil menunggu datangnya tulisan di bak truk.
Tulisan itu bisa dibuat.
Begitu juga janda.
Usaha pun fokus ke satu target: bagaimana membuat Jeeva janda.
Hadiah terus dialirkan.
Saat Jeeva sakit Rajagopal-lah yang mengatur harus opname di mana. Ketika tidak sembuh-sembuh dokter menoleh ke suaminya.
Dokter mangatakan Kumar harus menjalani test HIV/AID. Kumar curiga. Seperti ada yang mengatur. Kumar pun menolak diperiksa HIV.
Skenario B dilaksanakan. Disebarkanlah isu bahwa Kumar menolak test HIV. Berarti Kumar mengidap HIV. Yang menyebabkan Jeeva sakit.
Dokter pun melarang Jeeva berhubungan badan dengan suaminya.
Gerilya yang lain dilakukan. Keluarga dipengaruhi. Agar menjauhkan Jeeva dari penderita HIV.
Kumar melaporkan fitnah itu ke polisi. Tapi keluarga Jeeva sepakat: untuk menarik kembali laporan itu.
Suatu saat keluarga ayah-ibu Jeeva diajak perjalanan bisnis. Ke kota jauh. Enam jam naik mobil. Jeeva harus diajak. Jeeva mengajak suaminya.
Rombongan itu dua mobil. Termasuk beberapa orang staf kepercayaan Rajagopal.
Dengan alasan jumlah tempat duduk Kumar harus di mobil kedua. Bersama orang-orang kepercayaan annachi.
Berbagai bujukan, rayuan, tekanan dilakukan kepada Kumar. Agar bercerai. Ditawari juga uang.
Tidak berhasil.
Masih banyak usaha lainnya. Tapi kalau semua saya ceritakan bisa seperti film India.
Singkatnya, Rajagopal tidak tahan lagi. Ia tugaskan Daniel. Staf kepercayaannya. Untuk menyelesaikan Kumar. Dengan upah besar.
Daniel membawa Kumar ke luar kota. Jauh. Lebih 600 km. Daniel mengemukakan apa yang akan terjadi. Daniel harus membunuh Kumar.
Maka Daniel pun merayu Kumar.
“Maukah Anda pergi jauh? Tidak usah kembali? Daripada harus saya bunuh?“, ujar Daniel.
Kumar pun akhirnya menyanggupi.
“Pergilah ke Mumbai,” pinta Daniel. Sambil memberikan uang 5.000 laksa kepada Kumar. Itu sekitar Rp 50 juta.
Aman. Tugas selesai. Berhasil. Tanpa membunuh.
Daniel pun kembali ke Madras. Lapor annachi. Bahwa Kumar sudah dibunuh. “Kumar saya ikat. Lalu saya dorong ke depan kereta api yang lagi melaju. Badannya ditabrak kereta. Dan terseret jauh sampai tidak kelihatan,” tutur Daniel.
Tinggal tugas tim lain yang bergerak: menyekap Jeeva. Di salah satu rumah annachi. Alasannya sebagai simpati. Karena suaminya pergi. Meninggalkan istri dan tidak akan kembali.
Jeeva tidak mau. Dia tidak berhenti menangis.
Tiba-tiba ada telepon. Untuk Jeeva.
Dari Kumar.
Diceritakanlah di mana ia sekarang. Mengapa ia di situ. Bagaimana Daniel tugaskan untuk membunuhnya.
Dan ia memilih pergi.
Jeeva memberi jalan keluar. Agar suaminya pulang. Untuk justru bersama-sama menemui Rajagopal. Balik mengancam. Akan melaporkannya ke polisi. Atau menghentikan usaha mengejarnya. Untuk dijadikan istri ketiga.
Rajagopal seperti disambar petir. Tidak ia sangka.
Kumar masih hidup.
Cerita ini masih panjang. Detilnya sangat menarik. Tapi DI's Way bukanlah film India. Baiknya tulisan ini saya akhiri di sini saja:
Dua minggu lalu, 19 Juli 2019, Rajagopal meninggal dunia.
Mungkin itu baik bagi dirinya.
Seminggu sebelumnya Rajagopal ke kantor polisi. Menyerah. Untuk memulai menjalani hukumannya. Mahkamah Agung sudah menolak kasasinya.
Hari itu ia sudah harus mulai masuk penjara. Dihukum seumur hidup. Atas tuduhan melakukan pembunuhan atas Kumar.
Mayat Kumar ditemukan di tengah hutan. Di pegunungan sejauh 700 km dari Madras. Polisi hutanlah yang menemukannya. Setelah difoto dan diidentifikasi mayatnya dikubur secara Hindu di hutan itu.
Ternyata itu mayat Kumar. Baru diketahui seminggu kemudian.
Berkat kecurigaan Jeeva.
Sejak Kumar tidak ditemukan, Jeeva berada di salah satu rumah Rajagopal. Tapi kok tiba-tiba ada upacara keagamaan: Janda Pooja. Artinya, secara agama Jeeva sudah dinyatakan sebagai janda. Berarti suaminya sudah mati.
Berarti mantra di bak truk itu tiba.
“Berarti suami saya sudah mati. Berarti suami saya dibunuh.”
Itulah kata hati Jeeva. Lalu lapor ke polisi. Dicocokkan dengan foto mayat yang ditemukan di hutan.
Cocok.
Kumar telah mati.
Proses pengadilan ini berlangsung 15 tahun. Sampai akhirnya polisi memberitahukan putusan kasasi.
Saat menyerah ke polisi itulah tiba-tiba Rajagopal merasa sesak. Ia dilarikan ke rumah sakit. Itulah rumah sakit tempat Jeeva pernah diopname.
Seminggu kemudian Rajagopal meninggal. Gagal jantung.
Anak tertuanya yang meneruskan kerajaan bisnisnya.
Annachi telah pergi.(*)