Oleh: Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Dengan perjuangan ekstra keras pada pemilihan legislatif April 2019, partai “milik” Megawati, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mampu mendulang 15 kursi di Surabaya. Secara politis partai ini berkuasa atas warga Kota Pahlawan untuk lima tahun ke depan.
Dari catatan yang sama (data KPU), sembilan partai lain tidak ada yang melebihi enam kursi. PKB, Partai Gerinda, Partai Golkar, PKS masing-masing hanya lima kursi. Partai Demokrat dan PSI sama, empat kursi. Partai NasDem dan PAN, keduanya tiga kursi. Dan terakhir, PPP hanya satu kursi.
Melihat komposisi perolehan kursi parlemen di Kota Surabaya, normatif hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang bisa mengusung calon wali kota periode 2020-2025. Kesembilan partai lain masih harus berkoalisi.
Pasal 40 UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah secara tegas menyebut;
partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Tapi, ini politik. Merah bisa jadi kuning. Hijau bisa jadi biru. Benar bisa diartikan salah. Salah bisa menjadi benar. Dan seterusnya. Tidak ada kawan abadi, tidak ada musuh abadi.
Dari fakta ini, pemilihan wali Kota Surabaya 2020 belum bisa disebut mulus. Alias masih gelap. Bahkan gelap gulita! Semua masih sangat tergantung dari kecerdikan dan kelihaian seluruh partai.
Pun juga bergantung pada kebijakan masing-masing partai. Tepatnya ada pada pimpinan partai di tingkat pusat yang memiliki kewenangan penuh mengeluarkan keputusan.
Dengan begitu, partai yang bisa memanfaatkan momentum pun belum tentu berjaya. Termasuk PDI-P, meski kini posisinya di atas angin, akan terperosok kalau salah langkah.
Senada untuk partai lain, kalau salah menggandeng partai akan mengalami kekalahan. Dan, itu tentu memalukan dan menyakitkan.
Jadi, aneh saja kalau akhir-akhir ini ada banyak kalangan membicarakan sosok atau tokoh untuk mengisi jabatan wali kota. Rasanya mubazir kalau pun itu disebut lobi-lobi politik.
Apalagi tanpa tedeng aling-aling dan secara vulgar menyebut nama sosok atau tokoh tertentu dijagokan bisa memenangi kontestasi, pasti itu hanya akal-akalan pedagang politik untuk memperoleh cukong atau pemodal agar bisa membiayai jagonya maju dalam pemilihan wali kota. Karena, nama calon wali kota dan calon wakil wali kota ada di kantong ketua partai. Dan itu pasti banyak pertimbangan, termasuk pertimbangan besaran dana yang dimiliki calon.(*)