Langit Hitam Majapahit – Bulak Banteng (2)

Senin 19-07-2021,06:06 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Sementara itu, Bondan dan kelompok yang dipimpin Ra Caksana mulai menyusuri sungai kecil yang melintas di tepi Alas Jatipurwo. Bondan dan Ra Caksana sepakat untuk menyebar. Setelah menyeberangi jembatan, mereka berpencar dalam dua atau tiga kelompok kecil. Keduanya membagi kekuatan menjadi dua kelompok kecil dan mulai secara teliti menelusuri jejak-jejak pelarian Ki Cendhala Geni dan Ubandhana. Kemudian Bondan mendapatkan jejak seseorang dan mengikuti jejak itu hingga akhir siang. “Kita lanjutkan esok pagi. Kita bermalam di sini. Dan apakah kalian bisa bermalam tanpa nyala api?” tanya Bondan pada pimpinan prajurit yang menyertainya. “Baiklah, Bondan. Kita bermalam disini dan untuk itu aku akan mengatur penjagaan dengan orang-orangku,” Mandura meyakinkan Bondan dengan kesiapan rekan-rekannya. “Marilah, kita berlindung di semak-semak itu.” Telunjuk Bondan mengarah ke rerimbun semak yang rupanya akan dijadikan sebagai dinding hidup. ”Esok sebelum warna merah terlihat di cakrawala, tugaskan satu orang menuju Ra Caksana yang berada di sebelah selatan kita. Kita tunggu mereka beberapa tombak di depan.” “Rencana yang bagus. Memang sebaiknya kita tidak terpisah jika sewaktu-waktu berhadapan lagi dengan kedua orang itu,” Mandura me-nimpali, kemudian memberikan beberapa petunjuk kepada anak buahnya. Mereka dan begitu juga kelompok Ra Caksana melewati malam di tengah pategalan tanpa nyala api unggun. Mereka melakukan makan malam dengan bekal sisa siang hari tadi. Sedangkan malam itu di padukuhan Bulak Banteng tengah berlangunsg perbincangan di pendapa yang berada di sebelah lapangan yang cukup besar. Tampak beberapa orang mengerutkan dahi dan berbagai gerakan yang menunjukkan mereka sedang berpikir keras.

Baca Juga :

Bab 11 : Bulak Banteng
“Apakah kekuatan yang ada di padukuhan ini sudah cukup untuk mengimbangi sebuah kademangan, Ki Sentot?” tanya seseorang kepada orang berjenggot tipis yang duduk di sampingnya. “Sekalipun Bulak Banteng hanya padukuhan, tetapi luas wilayah dan kemampuan bertempur penghuninya sudah cukup mengimbangi pasukan yang dipimpin oleh rangga. Bukankah Ki Jagabaya sendiri yang melatih mereka?” Yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala. Ki Sentot meneruskan, “Tetapi yang menjadi lawan kita adalah Majapahit, bukan satu kademangan yang tidak jelas. Maka keraguan atas kemampuan sendiri akan berbalik menjadi senjata yang dapat membunuh kita semua.” “Iya, benar kata Ki Sentot. Sebaiknya memang Ki Jagabaya tidak meragukan kemampuan padukuhan ini,” kata seorang yang menggunakan jubah putih dan bertongkat di ujung ruangan. “Ki Gede Pulasari. Sebenarnya bukan meragukan kemampuan tetapi Ki Jayanti pernah mengatakan, bahwa kekuatan kita belum dapat dikatakan tangguh karena belum mendapat ujian sesungguhnya,” kata Ki Jagabaya. “Lantas apa yang harus kita lakukan? Bukankah latihan bertempur dalam gelar perang dan olah kanuragan sudah kita lakukan tiap hari?” kata Ki Sentot sambil menebar pandangan ke setiap orang yang hadir di pendapa. “Aku kira para prajurit kita akan mengalami kejenuhan, Ki Sentot. Mereka hanya kita perintahkan untuk menunggu dalam batas waktu yang kita sendiri belum tahu kapan akan berakhir,” Ki Jayanti mengatakan itu dengan menatap tajam kepada Ki Sentot. “Ki Jayanti, segala sesuatu harus kita pertimbangkan dengan penuh perhitungan. Tujuan yang akan kita gapai adalah tujuan yang besar. Bukan sekedar menumpuk kekayaan atau meraih kedudukan namun lebih dari itu,” Ki Sentot meneruskan, ”untuk itulah aku mengundang para sanak kadang untuk bersatu demi tujuan itu.” “Ki Jayanti, mungkin Ki Sentot ingin meraih tujuan itu secara sempurna maka waktu yang panjang itu dibutuhkan untuk mempersiapkan segala sesuatunya,” Ki Gede Pulasari menggeser duduknya kemudian meneruskan, ”jadi, seharusnya kita dapat mengerti alasan Ki Sentot menduduki Kademangan Sumur Welut terlebih dahulu, bukan begitu Kiai?” Dengan mengusap-usap dagunya dan mengangguk kecil, Ki Sentot berkata, ”Benar begitu, Ki Gede. Kademangan Sumur Welut akan menjadi lumbung karena selanjutnya, dalam waktu yang cepat, kita akan bergerak menuju Wringin Anom.”

Baca Juga :

Bab 11 : Bulak Banteng
Senyum Ki Gede Pulasari mengembang. Ia berdiri kemudian berkata, ”Ternyata sudah jelas bagiku sekarang. Kademangan Sumur Welut adalah lumbung pakan bagi kuda yang akan kita bawa dari Kademangan Wringin Anom.” Kebingungan beberapa orang pun akhirnya terjawab. Seketika mereka berseru lega setelah mendengar kesimpulan yang dikatakan oleh Ki Gede Pulasari. Kemudian Ki Sentot berdiri dan melangkah perlahan sambil meminta mereka untuk tenang kembali. Ia mengitari ruangan sambil menjelaskan,     ”Sumur Welut menjadi sasaran pertama itu bukan tanpa alasan yang kuat. Menduduki Sumur Welut berarti dapat menjadikan Gunung Bajul sebagai benteng pertahanan. Memang benar jika orang berkata Sumur Welut bukanlah tanah yang subur, tetapi bagiku tempat itu dapat menjadi lumbung dan tempat menempa persenjataan yang kuat. Selain itu, padukuhan Karangan sendiri mempunyai persediaan rumput dan dengan sendirinya akan dapat dikembangkan sebagai kandang kuda yang sangat besar.” “Ditambah lagi,” Ki Sentot meneruskan, ”jarak yang cukup jauh dari sungai dapat menghambat prajurit Majapahit datang menyerang jika kita sudah menduduki Sumur Welut. Perbukitan kecil yang berada di sebelah barat sungai akan menjadi penghalang kecepatan pasukan Majapahit untuk mendekati kita.” “Lalu bagaimana dengan rencana Kiai bila kita mengalami kekalahan dan harus mundur dari Sumur Welut?” tanya Ki Jayanti yang menggeser duduknya lebih ke depan. “Melawan Jayanegara, tidak ada kata mundur, Kiai. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Aku menetapkan menang atau hancur sama sekali,” suara Ki Sentot terdengar penuh tekanan dan menggetarkan isi dada setiap orang yang hadir malam itu. Tak lama kemudian seorang penjaga regol padukuhan induk datang berderap dengan seekor kuda, lantas melompat turun dari kuda setibanya di halaman pendapa. Dengan terburu ia mengatakan maksudnya sebelum kakinya menginjak tangga terakhir. “Ampun, Ki Sentot. Ada dua orang yang datang dan mengancam membunuh kami jika tidak diizinkan memasuki padukuhan. Mereka akan membakar sejumlah rumah jika Ki Sentot tidak menemuinya.” “Apakah ia menyebut nama?” tanya Ki Sentot selanjutnya. “Tidak. Ia hanya mengatakan bahwa ia datang dari selatan. Ia juga menyampaikan pesan kokok ayam hutan belum nyaring terdengar,” penjaga berkata dengan wajah pucat karena membayangkan bahwa ia akan menerima murka Ki Sentot Tohjaya. Dan itu berarti akan ada kebakaran besar di padukuhan yang sudah lama ia tempati. Namun derai tawa Ki Sentot justru mengejutkan setiap orang yang mendengarnya. “Kenapa Ki Sentot tertawa?” tanya penjaga itu. “Suruh mereka masuk segera. Kedatangan dua orang ini bukan termasuk yang aku perhitungkan tetapi keduanya dapat menjadi penyanggah harapan.” Tidak menunggu lama bagi Ki Sentot ketika penjaga regol kembali berada di halaman pendapa beserta kedua orang yang mengancamnya. “Benarkah yang berada di hadapanku sekarang ini adalah Ki Cendhala Geni? Orang kuat yang bergelar Banaspati Gunung Kidul?” senyum lebar Ki Sentot Tohjaya mengembang lebar ketika menanyakan perihal itu kepada kedua tamunya. “Sudah terlalu lama kita tak berjumpa, Kiai,” kata seorang tamunya yang ternyata adalah Ki Cendhala Geni.

Baca Juga :

Bab 11 : Bulak Banteng
Dan segeralah terjadi percakapan di antara kedua orang yang lama tak berjumpa, dan Ki Sentot juga mengenalkan jati diri Ki Cendhala Geni kepada setiap orang yang hadir dalam pendapa itu. Perbincangan kemudian berlarut dengan masalah-masalah ringan yang tak membikin pening. (bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait