Langit Hitam Majapahit – Malam Penumpasan (1)

Sabtu 17-07-2021,14:14 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Pada malam terjadinya bentrokan antara Patraman dan pengikutnya dengan laskar Majapahit. Pada waktu yang sama di Kahuripan, Ki Srengganan sangat murka mendengar laporan yang mengungkapkan bahwa Ki Cendhala Geni telah meninggalkan kepatihan. Tangan kanannya terkepal dan tampak membara hingga pangkal siku. Bibirnya terkatup erat dan terdengar gemeretak gigi beradu. Lalu ia bangkit dari tempatnya duduk dan berkata, ”Aku akan membunuhnya!” “Tetapi, Ki Srenggana,” kata seorang prajuritnya. “Di luar, di sekeliling halaman istana tidak ada jalan keluar.” “Apa yang terjadi?” “Orang-orang Majapahit berhasil merebut Kahuripan.” Teriak marah Ki Srengganan menggetarkan dinding istana kadipaten. “Lalu ke mana kalian semua? Hah! Jawab atau kaku bunuh kalian semua?” Ki Srengganan bergegas keluar ruangan diikuti oleh orang-oran gyang dipilihnya sebagai pengawal istana. Senjata telah terhunus. Raut wajah prajurit Ki Srengganan menyala buas. Ra Pawagal didampingi Gajah Mada berjalan memasuki halaman keraton Kahuripan. Agaknya kedatangan mereka telah diketahui oleh Ki Srengganan yang berdiri tegak dengan sebuah tombak panjang tergenggam. “Seluruh pasukan yang bersamamu telah terkurung dan menyerah, Ki Srengganan!” seru Ra Pawagal lantang. Ia meneruskan, ”Jika kau menyerah, aku akan meminta Sri Jayanegara untuk memberi ampunan padamu.” Tiba-tiba Ki Srengganan tertawa hingga dadanya berguncang, kemudian menatap tajam ke arah Ra Pawagal. ”Ampunan? Ra Pawagal, mungkin kau bermimpi jika orang lemah itu mau memberi ampunan. Sedangkan kita telah mendengar apa yang terjadi pada Ki Nagapati. Justru pada saat ini ,aku inginmengampuni Jayanegara.” Ia kembali tertawa keras lalu melompat turun ke halaman.

Baca Juga :

Ra Pawagal melihat sekelilingnya telah dipenuhi para prajurit Majapahit yang setia pada Sri Jayanegara. Untuk sesaat ia sempat berpikir, ‘Ki Srengganan adalah orang yang membantu Dyah Wijaya memulai semua ini selain pengikut dan kawan-kawan yang lain. Tetapi kekecewaannya pada penguasa sekarang justru menjadikannya sebagai orang yang hanya mengejar kesenangan. Maka dengan begitu ia mudah menerima ajakan untuk bergerak melawan arah. “Mendung hitam bergelayut di atas langit Majapahit.” Ia menghela napas panjang, kemudian berkata, ”Lalu apa artinya semua ini, Ki Srengganan? Bukankah kau tidak memperoleh perkembangan yang berarti? Setidaknya kau sendiri tidak tahu apa yang akan kau perbuat esok untuk Kahuripan.” “Tidak perlu kau berbicara sepanjang itu, Pawagal. Dahulu kita adalah kawan dekat yang sama-sama berjuang untuk membentuk kerajaan ini. Tetapi, malam ini kita harus melupakan itu semua.” Ki Srengganan merendahkan lututnya dan diam-diam menghimpun tenaga. Melihat itu, Gajah Mada mendekati Ra Pawagal. ”Tuan, harap bergeser sejenak. Biarkan saya yang muda ini menghadapi Ki Srengganan.” Ra Pawagal menggelengkan kepala. ”Tidak. Ki Srenggana bukan lawan yang setara denganmu. Bagaimanapun, ia adalah orang lapis pertama yang turut membangun keprajuritan. Kau dapat meringkus pembantunya.” Selepas itu, Ra Pawagal menarik keris dari pinggangnya. Gajah Mada pun mengikuti kemauan Ki Pawagal yang berwatak keras. Ia menyadari bahwa semakin memaksa orang tua pengikut Dyah Wijaya, maka justru akan terjadi benturan antara dirinya dengan Ra Pawagal. Kini Gajah Mada berdiri lurus menghadapi pembantu Ki Srengganan yang melangkah setapak demi setapak memutar menuuju padanya. Mata yang tajam memandang lurus dua lawannya tidak mengurangi rasa jerih yang tertulis dalam hati Ki Srengganan, meskipun begitu, untuk terakhir kali ia berkata lantang, “Kalian berdua tidak datang sebagai orang yang akan mengadiliku. Kedatangan kalian tak lebih dari pejabat Kahuripan lainnya yang hanya hidup dari belas kasihan penjudi sepertiku. “Terutama kau, Ra Pawagal! “Kau masih saja berusaha membela orang lemah sedangkan ia tidak mau mengerti sedikitpun kebaikan yang pernah kau berikan untuk ayahnya!” Ia maju setapak. Tenaga yang telah terhimpun di kedua lengannya semakin kuat, kini lengannya tergetar halus. Ra Pawagal tidak mau kehilangan kewaspadaan, ia maju setapak. “Gunakan senjatamu! Agar aku dapat mengakhiri hidupmu dengan wajah tegak,” desis Ki Srengganan. “Aku akan menangkapmu. Hidup-hidup!”

Baca Juga :

Ra Pawagal meluncur cepat dengan diiringi gelegar suara yang mampu menembus rongga jantung lawan. Ia tidak ingin kata-kata Ki Srengganan terdengar oleh prajurit yang mulai berdatangan mengepung tempat itu. Menurut Ra Pawagal, semakin banyak yang dikatakan oleh Ki Srengganan itu sama artinya dengan mencoreng nama baiknya sendiri. “Sekalipun engkau adalah pemberontak, tetapi ada kebaikan yang dapat dikenang oleh para prajurit,” kata Ra Pawagal dalam hatinya. Ki Srengganan menyambut serangan lawannya dengan kekuatan yang menggetarkan. Saat itu Ra Pawagal harus menarik keris dengan cepat karena tombak Ki Srengganan yang berputar dalam genggamnya tiba-tiba meluncur deras seolah dilemparkan. Terdengar suara nyaring ketika keris bertemu ujung tombak dan percikan api segera berhamburan. Sekejap kemudian tampak sinar putih bergulung-gulung ketika Ki Srengganan mengalirkan serangan dengan sabetan yang ganas sekaligus menutup tubuhnya dari  tusukan-tusukan Ra Pawagal yang berkelebat seperti kilat menyambar. Pada sisi lain, Gajah Mada melihat musuhnya telah bersiap dan tubuhnya segera melejit ke depan mendahului pembantu Ki Srengganan yang akan menerjangnya. Agaknya lawan Gajah Mada adalah orang yang mempunyai pengalaman cukup sehingga ia menggeser setapak ke samping, menyambut Gajah Mada dengan sabetan ujung tombak pendeknya, menyambar leher perwira muda Majapahit itu. Kelebat tombak itu sangat cepat dan mengeluarkan suara berdesing nyaring. Namun Gajah Mada cepat mengelak dengan membungkukkan tubuh, lalu tiba-tiba kakinya menyambar pusar lawan. Seruan tertahan keluar dari mulut pembantu Ki Srengganan, ia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Belum tegak ia berdiri, tubuhnya kembali melesat menerjang dengan tusukan-tusukan yang kuat dan cepat, Gajah Mada harus berloncatan mengelak dan menghindar serangan lawannya. Meskipun Gajah Mada bertempur dengan tangan kosong, tetapi ia dapat mengimbangi, keduanya bertarung amat seru. Ujung senjata pembantu Ki Srengganan belum mampu menyentuh ujung pakaian Gajah Mada yang melesat berloncatan begitu cepat mendahului setiap gerakan lawannya. Lambat laun Gajah Mada mulai dapat mengukur kemampuan lawannya, kini tubuh Gajah Mada semakin cepat bergerak dan kibasan tangan kakinya semakin kuat hingga mengeluarkan suara menderu. Pada saat Gajah Mada surut selangkah ke belakang, lawannya terpancing dengan gerakan Gajah Mada. Ia melayang, menyambar ke depan, menusuk leher Gajah Mada. Tiba-tiba Gajah Mada memiringkan tubuh, lalu memutar badannya mengikuti arah terjangan tombak yang melayang di atas dadanya. Sangat cepat sekali kakinya bergeser, dan ia menjulurkan tangan, memukul lengan yang memegang ujung tumpul tombak. Pembantu Ki Srengganan ini dapat mengatasinya. Tetapi gerak musuhnya yang sangat cepat itu segera saja menempatkan wajahnya berada di bawah perut pembantu Ki Srengganan yang melintas di atasnya.

Baca Juga :

Satu pukulan tangan kiri Gajah Mada menghunjam perut bagian bawah, lalu terdengar seruan tertahan bersamaan dengan tubuh pembantu Ki Srengganan terpental roboh. “Jangan bunuh jika masih hidup!” perintah Gajah Mada pada prajurit yang akan memeriksa tubuh yang tergeletak lemas. “Ia masih hidup,” kata seorang prajurit. Lalu ia menyingkirkan senjata, dan seperti yang dikatakan Gajah Mada sebelumnya, maka pembantu Ki Srengganan segera dibawa ke sebuah ruangan yang kemudian menjadi tempat untuk mengurungnya. (bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait