Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (3)

Senin 12-07-2021,14:14 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Sementara itu utusan Patraman, yang sudah tiba di Trowulan setelah melakukan sejauh sehari perjalanan, bergegas menuju candi yang cukup tua. Ia sudah mengetahui bahwa Ken Banawa sering berada di sebelah timur candi.untu bersemedi dan melakukan sejumlah pekerjaan “Selamat pagi Tuan Rangga Ken Banawa. Hormat saya,” sapa utusan Patraman, yang ternyata Rajapaksi, kemudian melaporkan tentang penculikan Arum Sari dan pengejaran yang dilakukan Patraman. Ken Banawa tidak terkejut karena ia telah mengetahui berita itu dari jalur lain. “Berapa orang yang bersamamu, Rajapaksi?” bertanya Ken Banawa yang baru saja mengikuti pertemuan di bawah pimpinan Mpu Nambi. “Seorang prajurit, Tuan.” “Baiklah, beristirahatlah kalian dan esok pagi atau setelah kalian merasa cukup bugar, kalian dapat kembali ke Wringin Anom. Laporkan pada Ki Demang bahwa engkau telah bertemu aku dan katakan padanya bahwa aku akan mengambil alih pengejaran ini,” kata Ken Banawa. Ia kemudian memberi perintah seorang prajurit agar meminta Bondan Lelana dan Gumilang segera menyiapkan diri. Ketika matahari telah menduduki ujung tanaman perdu, lima belas pasukan berkuda berderap dalam lima kelompok menuju Ken Banawa. Mereka menyembunyikan senjata di balik pelana, melingkari pinggang, menyisipkan di balik baju luar dan sebagainya. Dalam pesannya pada Bondan dan Gumilang, Ken Banawa meminta mereka untuk tidak memperlihatkan senjata seperi biasanya. Pengarahan singkat diberikan oleh Ken Banawa pada Gumilang sebagai pemimpin pasukan berkuda. Dalam petunjuknya, Ken Banawa memerin-tahkan untuk memulai pengejaran ke Ujung Galuh. “Paman, mengapa kita ke Ujung Galuh?” tanya Gumilang penasaran dengan arahan Ken Banawa. “Aku sudah menerima keterangan dari beberapa petugas sandi bahwa mereka telah  melihat tiga orang yang berkuda dan seorang di antaranya adalah perempuan,” Ken Banawa melanjutkan kemudian, ”dan aku yakin mereka menuju Ujung Galuh berdasarkan jalan yang mereka tempuh ketika terlihat oleh petugas sandi. Selain itu, mereka pasti akan meninggalkan jalan-jalan utama, karena tentu, mereka melihat perondaan yang semakin rapat dan ketat.” Senapati muda itu mendengarnya sambil bergumam. “Tapi mengapa kita harus ke Ujung Galuh? Bukankah itu justru akan menyulitkan mereka jika harus melalui sungai Brantas? Para prajurit akan mudah menemukan mereka.” Gumilang belum dapat menerima keterangan Ken Banawa dan terus mendesak demi sebuah alasan. “Gumilang, Ujung Galuh mempunyai pantai kecil di sekitar rawa di sebelah timur Jatipurwo. Dari sana, mereka dapat dengan mudah menyebe-rang ke Songenep, atau, mungkin kembali ke Wringin Anom dengan menumpang kapal-kapal para saudagar. Bila mereka dapat memasuki kapal saudagar itu akan menjadikan keadaan ini semakin sulit.” “Menyeberang ke Songenep itu lebih mungkin dan masuk akal, Paman. Dibandingkan kembali ke Wringin Anom, bukan begitu Paman?” “Aku tidak dapat membuat dugaan semacam itu atau lainnya. Segala sesuatu bisa saja terjadi dan oleh sebab itu lebih baik kalian dapat mencapai Jatipurwo sebelum malam menjelang.”

Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
  6. Bab 6 : Wringin Anom
  7. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
  8. Bab 8 : Siasat Gajah Mada
  9. Bab 9 : Rawa - Rawa
Bondan merasa tidak mengetahui wilayah yang menjadi bahan pembicaraan lebih memilih untuk menyimak percakapan yang terjadi. Ken Banawa memutar kudanya lalu berkata, ”Aku akan pergi menemui Ki Nagapati. Bila aku belum datang hingga senja, maka pergilah kalian dan aku akan menyusul secepat mungkin.” Debu mengepul tipis lalu semakin tebal ketika Ken Banawa memacu kudanya lebih cepat. Hari menjadi semakin panas ketika matahari merambat naik menuju puncak bayangan. Pada saat itu Ki Rangga Ken Banawa telah tiba di gardu jaga barak prajurit Ki Nagapati. Seorang prajurit menuntun kudanya dan menambatkan di sebuah balok panjang yang menjadi batas halaman depan, sedangkan Ken Banawa bergegas menuju bangunan yang ditempati Ki Nagapati dengan diantar seorang prajurit bertubuh sedikit gemuk. “Aku tidak melihat tanda pergerakan pasukan Kakang Nagapati. Lalu siapa yang mengatakan itu kepada Tuanku Mpu Nambi?” Pikir Ken Banawa pada saat ia berada di beranda depan. Sepanjang perjalanan dan selama beberapa hari, sapuan matanya tidak melihat adanya persiapan pasukan Ki Nagapati yang dikabarkan akan segera mendekati dinding kotaraja. Bermacam prasangka timbul dalam pikirannya, tetapi ia percaya pada firasat dan keyakinannya. Tak lama menunggu di sebuah bangku kayu, Ki Nagapati kemudian menginjakkan kaki pada lantai beranda. Dengan tubuh yang masih basah oleh keringat, ia bertukar salam dengan Ken Banawa. Tak lama kemudian,  keduanya segera berbicara tentang perkembangan kotaraja. “Tidak! Aku sama sekali tidak berpikir untuk mengepung kotaraja. Dan jika benar Kakang Nambi memperoleh keterangan seperti itu, sebaiknya kita berdua selalu melihat punggungnya,” tegas Ki Nagapati. “Tetapi seperti itulah yang saya dengar darinya,” Ken Banawa dengan mata menerawang keluar melampaui dinding halaman. Ki Nagapati menarik napas dalam-dalam, ia mendesah, ”Siapa yang mampu mengguncang nalar kakang Nambi? Menurutku, sebenarnya tidak ada yang perlu disembunyikan oleh Mpu Nambi.” “Ia tidak menutupi yang diketahuinya, Kakang. Tetapi, dalam pengamatan saya, Mpu Nambi tengah mengambil jarak dari seseorang di dalam istana.” Ken Banawa cukup berhati-hati dalam memilih kata-kata. Ia tahu kecerdasan Ki Nagapati dan kubu yang dibelanya, namun Ken Banawa sedang bersiaga apabila dinding dan lantai secara tiba-tiba dapat mendengar.  Ken Banawa menggeser letak duduknya, ia bertanya, “Apa yang harus saya sampaikan pada Tuan Nambi?” Pandang tajam Ki Nagapati membelah dada orang kepercayaan Mpu Nambi. Sejenak kemudian ia berkata, “Baiklah, Ken Banawa. Aku akan membawa pasukanku dalam keadaan sunyi menuju Kahuripan saat matahari akan tenggelam. Dan aku minta kau katakan pada Bhre Pajang serta Gajah Mada, bahwa aku akan merebut Kahuripan dengan kedua tanganku ini.” Ki Nagapati mengepal tangannya dan rahangnya tampak mengeras. Tak lama kemudian Ki Rangga Ken Banawa segera meninggalkan barak pasukan Ki Nagapati dan menuju kediaman Mpu Nambi. Secara singkat ia menerangkan pembicaraannya dengan Ki Nagapati dan penculikan Arum Sari. Mpu Nambi memandang Ken Banawa dengan sorot mata seakan-akan bertanya tentang sesuatu. “Apakah semua ini berasal dari satu orang saja, Ki Rangga?” Sambil mengangkat bahu, Ken Banawa berkata, ”Segala kemungkinan dapat saja terjadi, Tuan.” “Baiklah, tuntaskan terlebih dahulu persoalan yang membelit Wringin Anom. Jika kau percaya dan yakin bahwa Ki Nagapati akan menghukum Ki Srengganan, maka aku percaya pada keyakinanmu itu,” Mpu Nambi bangkit dan berjalan mengantarkan Ken Banawa meninggalkan rumahnya.   Saat matahari bergeser sedikit demi sedikit ke arah barat, delapan belas penunggang kuda terlihat mempercepat lari kuda-kuda mereka meninggalkan kotaraja. Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Setiap orang berada di dalam pikiran masing-masing. Bondan tidak sepatah kata pun menyatakan pendapatnya karena ia setuju dengan apa yang dikatakan Ken Banawa bahwa segala kemungkinan dapat saja terjadi. Rombongan ini mengambil jalan di tepi sungai Brantas agar juga dapat mengawasi lalu lalang perahu dan kapal. Setibanya di bandar Bungkul, Ken Banawa telah menyusul rombongan ini lalu ia membawa mereka bergerak memutar melewati beberapa danau kecil. Dengan melintasi jalur tersebut, mereka akan memasuki daerah rawa-rawa dari sebelah selatan alas Jatipurwo. (bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait