Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (1)

Minggu 11-07-2021,15:15 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Demikianlah yang terjadi di pusat kotaraja ketika Laksa Jaya sedang menemui Ki Cendhala Geni di balairung keraton Kahuripan. Laksa Jaya telah mengutarakan semua rincian rencana di depan Ki Cendhala Geni dan Ubandhana. Ki Cendhala Geni pun meminta Ubandhana segera bersiap berangkat pada malam hari sehingga pekerjaan itu dapat dimulai besok ketika pagi telah tiba. Ubandhana tidak keberatan dengan permintaan itu. Laksa Jaya segera undur diri dan kembali menuju barak prajurit Majapahit di Wringin Anom. Keesokan harinya setelah memperoleh keterangan dari seorang penduduk yang ia jumpai di jalan, Ubandhana disertai Ibhakara segera berjalan dengan cepat menuju rumah Ki Demang di Wringin Anom. Dari jarak sekitar sepuluh langkah, dua orang penjaga berhasil dilumpuhkan tanpa suara dengan senjata rahasia Ibhakara yaitu mata tombak berukuran jari kelingking orang dewasa. Secepat kilat kedua orang ini melintasi jalan dan melayang dengan cepat memasuki rumah Ki Demang. Mereka segera menuju bilik pustaka sesuai keterangan yang diberikan oleh Laksa Jaya. Arum Sari segera roboh pingsan sebelum menuntaskan pertanyaannya pada tamu tak diundang karena satu jari Ibhakara yang bergerak cepat menotok jalan darahnya. Tanpa kesulitan, kedua orang ini membawa keluar sang putri dari bilik pustaka. “Hei! Berhenti!” Seorang prajurit yang sedang meronda memergoki sesaat mereka keluar dari pintu bilik. Ibhakara melepaskan dua mata tombak kecil menembus tenggorokan,  prajurit itu roboh. Ubandhana melayang melewati tembok yang menjadi dinding halaman rumah Ki Demang.  Begitu ringan dan cepat sekalipun Arum Sari berada di pundaknya. Mereka berdua berlari cepat melintasi padang rumput yang tak begitu luas, lalu menghilang di lembah kecil tempat mereka menambatkan kuda. Dari situ, mereka akan menyusuri jalan kecil menuju Ujung Galuh.

Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
  6. Bab 6 : Wringin Anom
  7. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
  8. Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Kejadian yang begitu cepat ini berjalan tidak sesuai harapan Ubandhana. Satu teriakan seorang perempuan memecah keheningan dan mengguncang seisi bangunan. Seorang pelayan yang tengah berjalan menuju bilik pustaka terkejut mendapati seorang pengawal tergeletak bersimbah darah. Teriakan-teriakan segera bersahutan hingga terdengar oleh Patraman. Ia segera berlari cepat menuju bilik pustaka. “Ki Lurah! Arum Sari telah diculik!” “Suruh beberapa orang untuk mengawasi jalan utama. Yang lain, segera melapor pada Rajapaksi  agar menutup jalan ke barat. Kita paksa mereka menuju Trowulan. Jangan biarkan mereka lolos!” Patraman segera memacu kuda ke arah yang ditunjukkan seorang pengawal. Patraman melakukan pengejaran beserta empat orang pengawal yang menguasai ilmu sebanding dengan sepuluh orang. Setelah melintasi perbatasan Kademangan Wringin Anom, Patraman memerintahkan mereka untuk menyebar ke beberapa padukuhan kecil yang berada di sekitar kademangan. Ia sendiri berbalik arah menuju pendapa kademangan. Menjelang senja Patraman terlihat memasuki halaman pendapa kademangan.  Beberapa orang terlihat sedang berkumpul membicarakan sesuatu. Ketika ia sudah berada di pendapa maka yang pertama terlihat olehnya adalah Rajapaksi berurutan selanjutnya Ki Demang, Ki Jayabaya dan beberapa pemimpin pengawal serta para pemimpin dari padukuhan sekitar Wringin Anom. Ki Demang segera mengawali pembicaraan dengan pemimpin pasukan. Para bekel padukuhan pun turut menyuarakan pendapat saat diminta oleh Ki Demang atau lurah prajurit. Sejumlah rencana pencarian untuk menyelamatkan Arum Sari terus dibicarakan hingga menjelang malam. Patraman dengan cerdik menggunakan pertemuan itu untuk menegaskan kemampuannya. Ia bersoal jawab dengan pengawal kademangan, bekel-bekel padukuhan dan Rajapaksi. Malam itu Patraman seolah ingin memberi bukti jika ia lebih pantas menjadi satu-satunya tokoh panutan. Bahkan ia seperti meminggirkan keberadaan Ki Demang setelah merasa cukup dengan keterangan yang diperolehnya dari Rajapaksi, Patraman  segera minta diri untuk mengatur pengejaran. “Bagaimanapun penculikan ini adalah tanggung jawabku sebagai pimpinan tertinggi pasukan Majapahit di Wringin Anom ini. Tentu aku tidak akan menyerah begitu saja tetapi akan aku kerahkan bantuan dari Trowulan, Ki Demang.” “Memang sebaiknya begitu, Ki Lurah Patraman. Meskipun kejadian ini bukanlah harapan setiap orang yang ada di pendapa ini, tetapi semestinyalah kita meningkatkan penjagaan serta pengawasan yang lebih ketat di kademangan,” demikian kata Ki Demang sambil menutup pertemuan.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
Maka pertemuan pun dibubarkan. Ki Demang segera pergi ke ruang belakang menemui istrinya. Saat itu Nyi Demang masih berisak lirih dengan beberapa orang perempuan yang menungguinya. Ketika dilihatnya Ki Demang berjalan mendekat, tiba-tiba tangis Nyi Demang meledak. Segala kesedihan dan kecemasan serasa ditumpahkan seperti air bah yang melanda persawahan. “Apakah kita akan membiarkannya saja? Apakah Anda tidak berusaha mengambilnya kembali? Ki Demang, matahari yang redup akan kembali bersinar ketika mendung berlalu. Tetapi saya merasa lebih baik matahari selamanya berselimut mega jika anakmu tidak ditemukan. Apalah arti hidup tanpa Arum Sari?” “Nyi, setiap orang telah aku kerahkan. Dan siang tadi Patraman telah mengirim utusan menemui Ki Rangga Ken Banawa. Kita tahu senapati itu. Yakinlah, ia pasti mengerahkan semua yang ia punya untuk membantu kita. Selain itu, Patraman juga menghubungi semua teman-temannya di keprajuritan untuk memberi bantuan.” Mendengar jawaban itu, tangis Nyi Demang pun sedikit mereda. Sedikit harapan membuncah dalam dadanya. Karena ia tahu bahwa tangisnya tidak akan dapat memecahkan persoalan. Lirih. Yang terdengar hanya isak tangis Nyi Demang yang kehilangan anak gadisnya. Tentu saja hati seorang ibu akan lebih pedih dibandingkan daging yang tertusuk duri. Belah jiwanya hilang tanpa ada seorang pun yang tahu rimbanya. “Kehidupan kadang terasa indah dan menakjubkan ketika setiap harapan datang memenuhi tangan yang tengadah. Namun sering kali juga kehidupan menjadi serigala yang memangsa domba di dalam sebuah lorong panjang dan gelap,” berkata Ki Demang saat keduanya telah duduk berdampingan di tepi pembaringan. ”Mengapa begitu sulit bagi kita untuk melepaskan yang kita cintai? Sedangkan kita sering menyadari bahwa segala sesuatu adalah pemberian Yang Maha Kuasa.” Nyi Demang meletakkan jemari pada punggung tangan suaminya, ia berkata kemudian, “Arum Sari bukan benda mati, Ki. Ia adalah darah dan daging yang bertukar tempat dengan seluruh jiwa raga kita. Gadis itu merupakan gabungan dua jiwa kita yang telah disatukan di bawah kesaksian suci. Tidak mudah bagi saya melupakan Arum Sari, sekalipun ia menjadi persembahan agung.” Setangkup hati yang menguncup Kini menjadi semakin redup Matahari baginya adalah rasa hampa Melambai angin tak sampai Terulur rembulan tak tergapai Sebait syair melantun pelan dari sela bibir Nyi Demang yang bergetar. Keresahan begitu mencekam hingga mencapai jauh di kedalaman relung hatinya. Malam berlalu dengan syair yang diulang dengan nada yang berbeda. Lingkungan sekitar rumah itu menjadi sepi. Binatang malam enggan bernyanyi. Mereka tidak lagi berisik. Keceriaan mereka terenggut bersamaan dengan hilangnya Arum Sari.
Baca juga :
  1. Bab 5 : Tiga Orang
  2. Bab 6 : Wringin Anom
  3. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
  4. Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Baru saja terdengar ayam jantan berkokok, tampak tiga  orang berjalan menuju kandang kuda yang berada di halaman belakang kademangan. Beberapa orang terlihat mempersiapkan segala sesuatu yang untuk tiga  orang ini. “Rajapaksi, ikuti jalan utama dan temuilah ajaklah Ki Lurah Sembada.  Jangan segan memintanya untuk membantu mengawasi semua jalan utama. Arahkan penculik itu ke Trowulan. Aku akan memutar dan menyusuri perbukitan sebelah barat sungai hingga kotaraja.” “Baik, Ki Lurah. Sebaiknya Ki Lurah lebih waspada.” “Kita berpisah, Rajapaksi.” Ditemani seorang pengawal, Rajapaksi segera memacu  kudanya menuju kotaraja. Sementara itu, Patraman mengarahkan tujuan ke ujung desa kecil yang berada di timur padukuhan induk. “Laksa Jaya! Semua berjalan sesuai dengan rencana. Sekarang kita ke utara Alas Jatipurwo. Marilah!” kata Patraman setelah bertemu Laksa Jaya yang telah menunggu kedatangan pemimpin prajurit ini. “Sebaiknya engkau samarkan dulu pakaianmu, Patraman. Tentu akan banyak orang bertanya bila perjalanan ini tidak melintasi jalan utama. Setiap kecurigaan akan dapat membawa kegagalan atas upayamu itu,” kata Laksa Jaya sambil menghentak kuda perlahan. Kemudian keduanya berhenti di sebuah kedai, dan setelah meminta ijin pada pemilik kedai untuk menukar pakaian, maka keduanya meneruskan perjalanan menuju Alas Jatipurwo. Sedangkan di tempat yang lain,  tak lama setelah berita diculiknya Arum Sari tersiar, para prajurit di Wringin Anom sudah terlihat di berbagai sudut-sudut jalan. Hampir tidak ada satu pun ruas yang terlewatkan. Beberapa kelompok prajurit juga mulai menyisir mencari jejak di hutan-hutan kecil yang masuk dalam wilayah perondaan mereka. Kedua peristiwa yang terjadi dalam waktu hampir bersamaan, meski tidak mempunyai kaitan, akhirnya justru memberi kesulitan pada Ubandhana yang sudah cukup jauh meninggalkan Wringin Anom. Lolosnya seorang perwira prajurit yang bernama Gajah Mada telah mengubah keadaan yang sebelumnya telah diperhitungkan dengan masak oleh Ki Cendhala Geni dan Laksa Jaya. Ki Srengganan memerintahkan pencarian dan menjatuhkan hukuman mati pada Gajah Mada. Setiap perwira, prajurit dan para penjahat yang bergabung dalam kelompok Ki Srengganan bergegas memenuhi panggilan berhadiah besar itu. Kepala Gajah Mada akan ditukar dengan sebidang tanah dengan luas seribu tombak!
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
  6. Bab 6 : Wringin Anom
  7. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
  8. Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Tak pelak lagi dan tidak mungkin dapat dihindari jika yang terjadi kemudian adalah, para pengikut Ki Srengganan, baik yang  berseragam prajurit maupun perampok, akhirnya memenuhi jalanan.  Sedangkan Ubandhana tidak dapat mengenali satu demi satu prajurit Kahuripan yang  mempunyai kemiripan dengan seragam Majapahit. Ini menjadi kesulitan tersendiri baginya dan Ibhakara. Ubandhana sempat melihat iring-iringan prajurit menuju arah Kahuripan dan ia dicekam kecemasan. “Apakah Jayanegara telah mengetahui keadaan di Kahuripan? Aku harus memberitahukan ini pada Ki Cendhala Geni dan Ki Srengganan.” Ubandhana berpikir keras mencari jalan tengah untuk keluar dari pandangan mata para prajurit yang seolah menempel di setiap batang pohon. “Ibhakara, pergilah ke Kahuripan. Katakan pada Ki Cendhala Geni untuk segera keluar dari Kahuripan dan menunggu di utara Ujung Galuh. Katakan juga jika kau telah melihat beberapa kelompok prajurit dari kotaraja dalam perjalanan menuju Kahuripan.” Ibhakara menganggukkan kepala dan bergegas memacu kuda berbalik arah. Dua hari perjalanan maka tibalah Ubandhana dan Arum Sari di rawa sebelah utara hutan bambu. Beberapa nelayan terlihat sibuk menebar jala di bibir pantai. Sebagian lainnya juga tampak sibuk membetulkan jala. Sejauh mata memandang, Ubandhana tidak melihat satu perahu pun yang tertambat di pantai. “Permisi, Ki Sanak. Gerangan apa hingga tak ada perahu di tepi sungai?”  Ubandhana bertanya pada satu nelayan dengan tenang dan tak menunjukkan bahwa ia adalah orang yang diburu prajurit Majapahit. (bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait