Langit Hitam Majapahit – Gunung Semar (1)

Selasa 29-06-2021,06:06 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Di bawah puncak bukit ini berdiam seorang yang mempunyai ilmu di atas rata-rata orang linuwih lainnya. Mpu Gandamanik, begitu ia menyebut dirinya, pada awalnya mempunyai nama besar sebagai satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Ki Cendhala Geni ketika mereka berdua masih berusia muda. Ya, saat ini usia mereka kurang lebih sebaya atau tidak terpaut terlalu jauh. Pertarungan itu hanya terjadi sekali dalam sepak terjang mereka selama malang melintang dalam pengembaraan. Namun berita kemenangan Mpu Gandamanik tidak diketahui oleh banyak orang selain para pengikut Mpu Nambi dan Lembu Sora. Mereka inilah yang menjadi saksi perkelahian dahsyat yang terjadi di tepi sungai besar di bawah lereng Pegunungan Kendeng. Ufuk timur mulai menampakkan semburat merah ketika Gumilang tiba di depan pintu padepokan. “Bondan menderita luka yang cukup parah, Ngger. Bagus untuknya karena engkau telah menutup jalan darah yang menuju telinga kirinya,” sambut Mpu Gandamanik sambil menatap tubuh yang tergeletak lemas di pembaringan. Ia bergeser maju dan meraba pergelangan tangan Bondan, Mpu Gandamanik segera tahu bahwa Bondan menderita luka-luka dalam yang cukup parah. Beberapa pembuluh darah Bondan mengalami kerusakan hingga menyebabkan urat halus pendengarannya terganggu. Dalam seukuran waktu yang cukup lama, Gumilang membantu Mpu Gandamanik menyiapkan segala kebutuhan pengobatan. Tungku telah menyala dengan api sedang, ketika Ken Banawa menginjak kaki di depan pintu tempat tinggal Mpu Gandamanik. “Gumilang, aku hanya sesaat menemanimu, mungkin hingga fajar. Paman harus kembali ke kotaraja dan menyampaikan pada ibumu tentang keadaan Bondan,“ Ken Banawa berkata pelan sewaktu menuang air ke mangkuknya. Gumilang menjawab dengan anggukkan kepala. Sekali-kali ia menghela napas panjang. “Tentu keadaan Bondan akan membuatnya gelisah,” ucap lirih Gumilang. “Paman, apakah mungkin ibu akan mengirim orang untuk menjemput Bondan ke tempat ini?”

Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Ken Banawa menggoyang kepala lalu, ”Ibumu telah mengenal Mpu Gandamanik lebih baik dariku dan setiap orang di kotaraja, aku kira beliau akan percaya sepenuh hati padanya.” Sejenak Ken Banawa berhenti dengan mata yang lekat memandang pintu bilik rawat Mpu Gandamanik. Kemudian ia berkata lagi, “Keadaan Bondan memang cukup berat, tetapi kita tidak dapat berbuat lebih banyak dari yang telah kita lakukan. “Untuk pertama kali, aku bertempur di sampingnya lalu aku menemukan bahwa banyak hal yang akan membuat perbedaan. “Pada saat itu Bondan menanam benih keyakinan padaku, bahwa ia akan melewati segalanya dengan usaha yang terbaik. Mungkin kau akan menanggap Paman gegabah karena terlalu singkat memberi penilaian terhadap Bondan. Namun jika kau bersamanya pada malam kami berhadapan dengan Mpu Gemana dan Prana Sampar, boleh jadi, kau akan mempunyai kesi-mpulan yang sama denganku.” Gumilang berulang menganggukkan kepala. Kemudian, masih kata Ken Banawa, “Bondan benar-benar melakukan ini tanpa perhitungan yang mapan. Ia belum tahu siapa itu Ki Cendhala Geni. Tetapi, bagaimanapun, aku harus mengakui bahwa Bondan memang tangguh. Sedikit pertarungan yang ia jalani namun mampu mengimbangi Ki Cendhala Geni adalah sesuatu yang sangat berharga dan patut menjadi bahan renungan.” Senapati ini menutup kalimatnya sembari menggelengkan kepala. Ia memejamkan mata sambil membiarkan air hangat yang telah dicampur dengan rempah-rempah turun membasahi rongga tenggorokannya.. Sungguhpun ia menganggap perbuatan Bondan itu berada di luar batas kewajaran, tetapi ia juga bersyukur bahwa keadaan mungkin benar-benar berbeda seandainya tidak ada Bondan. Banyak kemungkinan yang dapat terjadi, dan salah satunya adalah prajurit Majapahit yang dipimpin Ki Guritna akan dihabisi tanpa menyisakan satupun yang hidup, pikirnya. Dalam angannya, Ken Banawa diam-diam menilai bahwa keputusan Bondan yang nyaris tanpa perhitungan matang ternyata membawa arti tersendiri. Masuknya Bondan dalam lingkar pertempuran itu seperti pertolongan bagi prajurit yang menjadi bawahan Ki Guritna. Perlawanannya terhadap Ki Cendhala Geni serta Ubandhana tanpa disadari telah memanjangkan waktu bagi prajurit Majapahit di Sumur Welut. Derit bangku bambu terdengar ketika Gumilang bangkit dan berjalan pelan menuju bilik rawat. “Bukankah memang itu watak Bondan, Paman?” Gumilang memalingkan wajah menghadap Ken Banawa. “Ia mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar dan selalu ingin terlibat dalam banyak kegiatan  yang terjadi di sekitarnya. Sekalipun itu membahayakan dirinya, namun jarang saya melihat atau mendengarnya mundur. Terus terang, saya pikir watak itu ada sedikit berubah setelah menginjak usia seperti ini tapi ternyata Bondan masih seperti dulu, seperti saat ia masih kecil,” Gumilang memandang sayu tubuh lemas Bondan dan menggelengkan kepala. Ken Banawa tidak berkata-kata lagi. Ia mengambil tempat memadai untuk menempatkan diri agar mendapatkan kecukupan guna memulihkan daya tahannya. Ia melewatkan malam yang dinginnya menusuk tulang dengan bersemedi. Dalam usia yang menjelang senja, seorang Ken Banawa sudah merasakan banyak pahit getir dan kebahagiaan dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya hanyalah sebuah pengabdian. Ia mencukupkan diri hanya pada pemahaman itu. Tidak lebih. Pengabdian untuk raja, untuk kerajaan dan rakyat yang dilindunginya.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Ken Banawa memaksa diri untuk merasakan bahagia yang tak terkira ketika ia berhasil menunaikan satu pengabdian. Malam itu terbayang dalam benaknya semua peristiwa-peristiwa di masa lalu, tentang pertumpahan darah, perselisihan dan segala masalah yang pernah ia hadapi. Menghanyutkan rasa dan pikirnya dalam setangkup puja mantra, Ken Banawa ingin merasakan bahwa ia tak pernah ada. Di bilik yang lain, Gumilang masih terheran dengan tindakan Bondan di Sumur Welut. Pikirnya, ‘Betapa ia seorang diri dan tidak mengenal satu orang pun, namun memutuskan untuk memasuki sarang penyamun yang dipimpin orang yang diperhitungkan oleh kotaraja. ‘Ki Cendhala Geni. Apakah Bondan tidak mengetahui perihal orang itu ataukah ia tutup mata dan telinga? Lantas bagaimana ia akan memberi jawaban pada ibu tentang hal ini? Aku tidak dapat membayangkan perasaan ibu jika suatu saat harus duduk berhadapan dengannya.’
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Pertanyaan yang tidak dapat menemukan jawaban di benak Gumilang. Lalu ia mencoba menenangkan diri dan memejamkan mata. “Biarlah, yang akan terjadi maka terjadilah!” desis perlahan Gumilang, “Yang dapat aku lakukan esok adalah membantu Mpu Gandamanik. Tidak lebih.” Yang terjadi kemudian adalah hampir setiap hari selama beberapa pekan, sepupu Bondan ini  pergi ke hutan mencari akar dan dedaunan yang dapat dijadikan ramuan untuk pengobatan Bondan. Gumilang memiliki keinginan kuat untuk melihat kesembuhan saudaranya dari luka di bagian dalam, oleh karena itu tidak jarang ia mengurut urat syaraf Bondan berdasarkan petunjuk Mpu Gandamanik. (bersambung)        
Tags :
Kategori :

Terkait