Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Sejak berumur satu setengah tahun Mina (26, samaran) tinggal bersama keluarga tantenya, sebut saja Ningsih (45). Bapak, ibu, dan kedua kakaknya tewas dalam kecelakaan menuju Pacitan.
Sekeluarga, hanya Mina yang selamat karena didekap erat-erat oleh sang ibu.
Selain Ningsih, Mina tidak punya siapa-siapa lagi. Ibunya anak tunggal, sedangkan ayahnya hanya dua bersaudara dengan Mukhlis, suami Ningsih. Mereka tidak dikaruniai anak. Kesendirian Mina semakin mendekati sempurna setelah Mukhlis meninggal dunia 15 tahun silam karena digerogoti kanker kantung zakar.
Beruntung Ningsih adalah perempuan perkasa yang sanggup hidup mandiri. Dia sukses mengelola jaringan ritel barang-barang kebutuhan keluarga, bahkan punya cabang di beberapa kota di Jatim.
Mungkin karena kesibukan itu, Ningsih tidak sempat memikirkan kesendiriannya pasca ditinggal Mukhlis. “Tapi, ada satu yang tidak kusenangi. Tante suka pergi dengan laki-laki muda. Alasannya untuk menemani kulakan,” keluh Mina di kantor pengacaranya, area Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu.
Mina tidak berani mencampuri urusan tantenya lantaran semua kebutuhan dicukupi Ningsih. Dia bahkan selalu disekolahkan di lembaga-lembaga pendidikan favorit dan diikutkan berbagai macam kursus. “Aku memang diperlakukan seperti anak kandung karena Tante bersama Om Mukhlis tidak memiliki anak,” tuturnya.
Satu yang tidak boleh dilanggar Mina: membantah. Apa pun yang dikehendaki Ningsih harus terwujud. Pernah suatu kali Mina tidak menurut ketika disuruh tantenya mengikuti kursus bahasa Mandarin.
Mina beralasan waktunya habis untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah dan kursus-kursus yang lain. Tapi, bagi Ningsih, ternyata itu bukan alasan yang tepat. Mina tidak dikasih uang jajan sebulan penuh, dan selama itu pula dia harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ringan rumah tangga.
Waktu sebulan itu dihibahkan kepada tiga pembantu di rumah itu untuk bergiliran pulang kampung. “Itu keputusan Tante dan tidak boleh dibantah. Dia memang keras dan tegas. Walau begitu, hatinya lembut dan penuh kasih,” kata Mina.
Pernah pula Mina bertanya siapa lelaki yang menemani Ningsih—yang katanya—kulakan di Jakarta. Tampaknya sang tante tidak berkenan dengan pertanyaan tersebut. Mina dikatain nyinyir dan mau tahu urusan orang. Setelah itu, Ningsih tidak pernah menanggapi Mina setiap mengajak omong. “Itu berlangsung lebih dari seminggu,” imbuhnya.
Bukan tanpa alasan Mina menanyakan sosok lelaki tadi. Sebab, Mina sangat tahu siapa lelaki itu. Dia adalah pacar teman sekolah—waktu itu Mina masih duduk di bangku kelas dua SMA—Mina. Seorang mahasiswa jurusan hukum universitas ternama di kota ini.
Suatu tengah malam sepulang Ningsih dari kulakan, Mina memergoi tentenya itu memeluk mesra lelaki tadi di ruang tamu. Dalam keterkejutannya, Mina bahkan shock, tidak mampu bersuara, ketika satu per satu pakaian sang tante ditanggalkan. (bersambung)