Ekonomi vs Politik

Senin 15-07-2019,09:08 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh: Dahlan Iskan “Tabungan dikurangi investasi=ekspor minus impor”. Dulu. Dulu sekali. Waktu muda. Saya tidak bisa paham membaca rumus ekonomi makro seperti itu. Dan tetap tidak akan paham. Kalau waktu itu tidak menjadi aktivis mahasiswa. Awalnya saya hanya bisa bengong. Saat ikut diskusi sesama aktivis. Kadang kami memang mengundang aktivis yang lebih senior. Yang sudah menjadi dosen. Atau asisten dosen. Dari berbagai universitas. Dari berbagai disiplin ilmu. Senior-senior itulah yang ‘meracuni’ aktivis. Saya tidak tahu apakah sekarang masih ada. Senior yang mau ‘meracuni’ mahasiswa seperti itu. Mungkin sayalah yang paling bengong. Di topik seperti itu. Di madrasah aliyah tidak diajarkan hal-hal seperti itu. Yang tidak ada hubungannya dengan surga dan neraka itu. Apalagi setelah aliyah saya ke IAIN. Untungnya di aliyah ada pelajaran ilmu logika (ilmu mantik). Yang jadi bekal saya untuk mudah memahami yang serba duniawi itu. Setelah diskusi, saya pun harus selalu membaca artikel-artikel ekononi makro. Pun yang tidak saya mengerti. Tetap saya baca sampai selesai. Pun yang tidak saya sukai. Saya baca. Saya ingat ilmu petuah di pesantren: batu pun bisa berlubang oleh tetesan air. Hanya diperlukan konsistensi. Istikamah. Dalam waktu yang lebih lama. Dan diperlukan kesabaran yang tinggi. Zaman itu ada majalah Prisma. Tiap terbit saya baca. Pinjam kanan-kiri. Isinya banyak yang tidak saya mengerti. Tapi rasanya bergengsi kalau ke mana-mana menenteng majalah itu. Itulah majalah terbitan Lembaga Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Lembaga itu pula yang mendidik saya menjadi wartawan. Selama tiga bulan. Diasramakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Atas biaya salah satu yayasan dari Jerman. Menteri-menteri ekonomi zaman awal Pak Harto selalu menulis artikel di situ. Mereka itulah yang disebut teknokrat. Yang dianggap sebagai peletak dasar-dasar ekonomi orde baru itu. Pak Harto begitu tunduk pada para ekonom itu. Misalnya dalam hal pengendalian penduduk. Prof Dr Widjojo Nitisastro adalah ahli ekonomi demografi. Saya baca buku beliau di bidang ini. Yang awalnya juga tidak saya mengerti: pentingnya pengendalian pertumbuhan penduduk dalam pembangunan ekonomi. Yang Pak Harto lantas menerapkannya. Dengan all out. Lewat program ‘dua anak cukup’. Secara sabar dan konsisten. Termasuk sabar dalam menghadapi tentangan para ulama. Yang tidak setuju KB. Program ini seperti dilupakan. Sejak reformasi. Sampai sekarang. Di bidang produksi dalam negeri, Pak Harto juga tunduk pada tim Widjojo itu. Baik bidang pertanian maupun industri. Sampai-sampai Pak Harto disebut sebagai ‘dikendalikan mafia Berkeley’. Para ekonom Pak Harto itu memang lulusan Berkeley. The University of California, Berkeley. Sebuah universitas di luar kota San Francisco. Di kota kecil Berkeley. Di tengah-tengah antara San Francisco dan Sacramento. Saya sering mampir universitas itu. Hanya untuk lihat-lihat. Mampir dalam perjalanan menengok anak saya dulu. Yang kuliah di Sacramento. Ketika saya lihat ia pacaran dengan ‘gadis sampul majalah Gadis’ saya sarankan pada pacarnya itu. Yang lulusan Universitas Pelita Harapan itu. Agar menyempatkan kuliah lagi di Amerika. Biar pun hanya sebentar. ‘Pacarmu kan pendidikannya Amerika terus. Anda harus pernah kuliah di Amerika. Biar pun sebentar. Agar kelak, kalau jadi suami istri, bisa nyambung’. Tanpa saya sarankan harus di mana, dia pilih kuliah di Berkeley itu. Sebentar. Mungkin karena dia tahu banyak tokoh lulusan Berkeley. Mungkin juga agar tidak terlalu jauh dari Sacramento. “Pak Harto sangat cepat memahami ilmu ekonomi. Dulu beliau memang belajar dari kami. Tapi belakangan kami yang belajar dari beliau.” Saya lupa siapa yang mengucapkan itu. Tapi kalimat itu sangat terkenal. Yang menunjukkan betapa Pak Harto memilih tim ekonominya yang teknokrat asli. Yang menunjukkan betapa Pak Harto ‘tunduk’ pada para ekonom itu. Beliau rupanya menyadari lemah di bidang itu. Hanya lulusan SMP. Karirnya pun terus di militer. Saya yakin Pak Harto juga tidak paham rumus “tabungan dikurangi investasi = ekspor dikurangi impor” itu. Awalnya. Padahal pelaksanaan rumus seperti itulah yang bisa memajukan perekonomian negara. Juga bisa dipakai untuk memahami mengapa terjadi perang dagang. Dan bagaimana hasilnya kelak. Presiden Donald Trump adalah konglomerat besar. Tahu ekonomi sangat banyak. Tapi ia tidak termasuk ahli ekonomi. Bukan teknokrat. Kebijakan perang dagangnya dinilai sebagai bukti bahwa ia bukan teknokrat. Bukan ahli ekonomi makro. Memang ‘musuh’ ekonom bukan hanya politisi. Tapi juga para pelaku bisnis. Para aktivis ekonomi mikro. Yang orientasinya lebih pendek. Dan lebih mikro. Misalnya: Presiden Trump mengeluhkan defisit neraca perdagangan. Yang memang luar biasa besarnya. Dan sudah luar biasa lamanya. Trump seperti ambil panadol. Meski belum tentu bisa menyembuhkan penyebab dasar sakit kepalanya. Trump pasti tahu ‘hukum besi ekonomi’. Seperti tertulis dalam rumusan di atas. Penasihat ekonominya pasti juga para ahli. Mereka pasti tahu rumus ini: “defisit neraca perdagangan tidak ada hubungannya dengan tarif”. Kalau toh kelihatannya ada, itu hanya semacam panadol. Ekonomi memang sering kalah oleh politisi dan ekonom mikro. Politisi memusuhi ekonom karena ketidaktahuan mereka. Pebisnis memusuhi ekonom karena terlalu banyak tahu apa saja. Sedikit-sedikit. Karena itu ekonom sering dipojokkan oleh penguasa --yang umumnya politikus. Di mana pun. Ekonom sering kalah oleh tekanan sesaat. Misalnya untuk kepentingan pemilu. Terutama untuk bisa menang. Pakistan mengalami hal seperti itu. Dalam skala yang sangat akut. Turki akan kita lihat perkembangannya. Kita? Baiknya Anda saja yang menilai. Itu pula yang membuat Amerika sebenarnya sakit parah. Di bidang itu. Tapi sakitnya orang kaya-raya. Tidak mematikannya. Bahkan tidak menyulitkannya. Untuk jangka pendek. Kesalahan yang dibuatnya selama ini tidak akan terasa. Mungkin baru ketahuan di tahun 2050-an kelak. Amerika sebenarnya mengalami apa yang disebut devisit ganda. Neraca perdagangannya defisit. Anggaran belanja negaranya juga defisit. Jangan ditiru. Amerika baik-baik saja dalam kondisi seperti itu. Negara miskin tidak boleh mengikutinya. Amerika mampu berbuat ‘parah’ seperti itu karena asetnya sudah besar, namanya harum, reputasinya baik. Intinya: Amerika bisa dipercaya. Maksud saya: selalu ngutang pun masih tetap dipercaya! Berapa pun besarnya. Semurah apa pun bunganya. Defisit neraca perdagangan itu sebab awalnya satu: tingkat tabungan nasionalnya rendah. Tabungan nasional adalah tabungan masyarakat ditambah tabungan perusahaan dan tabungan negara. Rumus berikutnya adalah: “Bila tabungan lebih rendah dari investasi neraca perdagangan pasti deficit”. “Defisit neraca perdagangan itu pada dasarnya adalah utang”. Begitu rumusnya. Itu karena investasi tidak cukup tinggi. Akibat tabungan yang rendah itu. Bahwa Amerika menghukum Tiongkok memang sangat memuaskan publiknya sendiri. Secara politik itu sangat menguntungkan. Tapi tidak akan membawa perbaikan struktur dasar ekonomi Amerika. Begitu para ahli di Amerika menyimpulkan. Yang selama sebulan ini banyak saya dengarkan. Hukuman Amerika kepada Tiongkok itu sama dengan kebijakan ini: saat harga barang naik pedaganglah yang ditangkap. Pedagang beras atau ternak. Secara politik itu juga sangat memuaskan: ada yang ditangkap. Tetapi tidak akan memperbaiki struktur ekonomi. Dan lagi untuk apa ada fakultas ekonomi di semua universitas?(*)  

Tags :
Kategori :

Terkait