Oleh: Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Jumat (14/6) kemarin sidang gugatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 digelar di MK (Mahkamah Konstitusi). Pemohonnya BPN (Badan Pemenangan Nasional) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sedangkan termohonnya KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Otomatis MK jadi sorotan. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, semua dicermati, baik dari anggota majelis hakim maupun ketua majelis hakim MK, tim hukum Prabowo-Sandi, dan tim hukum KPU. Tidak satu pun kata dan kalimat yang mereka lahirkan lepas dari sorotan.
Yang pasti, sorotan sidang kali ini datang tidak hanya dari masyarakat skala nasional. Dunia internasional pun ikut menyoroti. Gak kebayang stres dan tingginya tekanan terhadap para hakim yang menjadi menangani kasus ini!
Sorotan pertama muncul setelah secara tegas KPU melayangkan keberatan atas gugatan perbaikan yang dipakai kubu Prabowo-Sandiaga Uno. Mereka menganggap gugatan yang dipakai tim Prabowo-Sandi tidak relevan bila menggunakan materi perbaikan.
Segitu saja pernyataan KPU. Justru ketua tim hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, yang bereaksi. Dia menyoroti kebijakan hakim terkait perbaikan permohonan pada sidang sengketa pilpres.
Menurut mereka, keputusan hakim menerima permohonan pemohon yang memakai materi perbaikan berbeda dengan undang-undang. Juga, berbeda dengan PMK (Peraturan Mahkamah Konstitusi).
Sorotan kedua mencuat dalam sidang, setelah tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memaparkan dugaan ketidaknetralan aparatur negara, yakni polisi dan intelijen, dalam pelaksanaan Pilpres 2019. Mereka menduga aparat ikut membantu pemenangan Jokowi.
Mereka menganggap, secara langsung atau tidak, ketidaknetralan Polri dan BIN atau intelijen terlihat bertindak mengarah pada pemenangan pasangan calon 01. Artinya, paslon 02 merasa bukan hanya berkompetisi dengan paslon 01, melainkan juga dengan presiden petahana Joko Widodo yang di-backup penuh oleh aparat Polri dan intelijen. Walau begitu, ketidaknetralan kedua pihak ini dengan instruksi langsung dari capres petahanan Jokowi bukan hal mudah untuk dibuktikan.
Begitu pula ketika tim hukum Prabowo-Sandi mengungkap ada arahan Jokowi sebagai presiden yang meminta program pemerintah ikut disosialisasi Polri.
Mendapatkan sorotan bertubi-tubi kali ini, MK masih terlihat tegar. Mahkamah tertinggi di negeri ini mampu mengambil putusan dengan cermat. Memutuskan sidang diundur hingga Selasa 18 Juni, dan perbaikan jawaban atas gugatan juga diperlonggar hingga Selasa sebelum sidang.
Putusan ini pantas diacungi jempol. Memberi gerak luwes pada kedua belah pihak.
Namun di sorotan ketiga, permintaan tim hukum Prabowo-Sandi agar paslon capres 01 didiskualifikasi, wajah para hakim langsung jadi berbeda.
Apalagi dalam ungkapan tim hukum Prabowo-Sandi yang menyatakan memiliki dasar kuat yang berlandaskan alasan-alasan hukum dengan dikuatkan bukti-bukti hingga ada 15 petitum yang diyakini bisa memenangkan sengketa Pilpres 2019 ini.
Nah, saat inilah profesionalisme hakim MK diuji. Jadi, sambil menunggu hasil apa pun sidang sengketa ini, rakyat harus menunggu dengan sabar dan tak perlu turun ke jalan lagi. Percayakan kepada MK.(*)