PPKM Tahap Dua Semakin Mencekik UMKM

Minggu 31-01-2021,19:27 WIB
Reporter : Ferry Ardi Setiawan
Editor : Ferry Ardi Setiawan

Surabaya, memorandum.co.id - Semakin terhimpitnya kebebasan masyarakat akibat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tahap kedua, membuat para pelaku usaha kecil semakin tercekik. Menurunnya daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19, membuat para pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di Surabaya ikut terpuruk. Hal tersebut begitu dirasakan penjual kue basah dan kering di Jalan Tenggilis Mejoyo, Lestari mengaku sudah banyak penderitaan yang dirasakan dirinya sebagai pelaku UMKM selama masa pandemi. Mulai dari pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga PPKM tahap kedua ini, perputaran ekonomi usahanya ikut terhenti. "Apalagi sampai sekarang banyak pekerja kantor dan lembaga pendidikan yang bekerja di rumah. Pelanggan terus berkurang sampai-sampai lama balik modal," kata Lestari, Minggu (31/1/2021). Selama pandemi ini, Lestari memutuskan untuk tetap berjualan kue dengan mengandalkan pelanggan di sekitar tempatnya berjualan dan pelanggan langganan. Ia mengurangi penjualan kue agar tidak mengalami kerugian yang terlalu besar karena belum laku atau basi. "Saya juga sekarang menerima pesanan, tetapi tetap jarang karena tidak boleh ada acara kerumunan. Mau berjualan apa lagi. Anak saya sampai jadi driver ojek online untuk memenuhi kebutuhan," ujarnya. Tak hanya itu, PPKM juga dirasakan dampaknya oleh pemilik warung kopi. Ega, pengelola salah satu warkop di Jalan Dr Ir H. Soekarno, Kecamatan Gunung Anyar, mengaku bahwa sejak diberlakukannya PPKM, jumlah pengunjung turun drastis. Mengakibatkan omzet yang diterima mengalami penurunan hingga 60 persen dibanding sebelumnya. Ia menyebutkan, sebelum diberlakukannya PPKM, dalam sehari usahanya bisa meraup omzet sekitar 3 juta. Namun sekarang pendapatan yang diterima tidak sampai menyentuh angka 1,5 juta. "PPKM sangat berdampak sekali, terutama pada penurunan omzet. Dari mulai di laksanakan selalu sepi, turunnya sampai hampir 60 persen," terang Ega. Dalam penerapan PPKM tahap satu dan dua, Pemerintah Kota Surabaya juga memberlakukan batasan jam malam bagi pedagang dan warung kopi, yakni mulai pukul 22.00 hingga pukul 04.00. Ega bersama beberapa rekannya mengaku pasrah menanggung kondisi saat ini. Pelayanan terbaik dan penerapan protokol kesehatan 3 M bagi pengunjung juga dikatakannya sia-sia, lantaran operasional warkop dibatasi sampai pukul 22.00. "Kalau sudah masuk jam malam, habis Isya saja sudah mulai sepi. Pengunjung Takut terjaring operasi prokes," tandasnya. UMKM Tercekik? Ini Takaran Pakar Ekonomi Bisnis Sementara itu, Ketua Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Gancar Candra Premananto mengungkapkan, bahwa pemberlakuan PPKM saat ini tidak memberikan dampak yang signifikan bagi pelaku usaha. Sebab, masyarakat masih bisa produktif dari rumah. Kondisi saat ini tentunya berbeda dengan saat di masa awal pandemi Covid-19 mulai merebak di Indonesia. Segala aktivitas masyarakat dibatasi. Mulai akses jalan, perkantoran, industri, hingga lembaga pendidikan. "Bagi pengusaha, harus tetap berusaha mencari peluang walaupun di celah yang sempit. Kemampuan dan sensivitas mendapatkan peluang penting bagi wirausaha baik besar ataupun kecil, karena semuanya terdampak wabah pandemik. Pendekatan spiritual kepada Tuhan juga tetap harus ditingkatkan di masa krisis ini," tegasnya. Menurutnya, pembatasan jam malam hanyalah salah satu upaya untuk mengurangi aktivitas berkumpul masyarakat berdasarkan perilaku masyarakat setempat yang umumnya semakin malam semakin banyak yang berkumpul, terutama di warung kopi. Di sisi lain, seringkali masyarakat bersikap apatis terhadap risiko terdampak. Untuk itu, pemahaman terhadap perilaku masyarakat setempat menjadi sangat penting. Kebijakan pada dasarnya hanyalah upaya mengubah kebiasaan, yang ketika kebiasaan berubah, akan menjadi pembiasaan yang baru. "Pemilik warkop dan usaha UMKM bisa jadi harus menyesuaikan diri juga dengan regulasi yang ada, jam buka yang dibuat lebih awal, kiriman kopi dan makanan ke rumah konsumen warga sekitar, adalah salah satu bentuk penyesuaian yang dapat dilakukan," papar Gancar. Pihaknya menjelaskan, bahwa pemerintah tentunya tidak ingin perekonomian masyarakatnya terganggu, namun juga tidak ingin masyarakatnya terdampak, yang mengakibatkan pengeluaran untuk proses dan penyediaan fasilitas perawatan dan pengobatan, juga sangat tinggi. Maka butuh kesadaran semua pihak akan perannya masing-masing. "Harus terbangun kepercayaan antara kedua belah pihak, pemerintah dan masyarakat. Masyarakat menyadari tugas dan tanggung jawab pemerintah, pemerintah memahami masyarakat yang butuh mata pencaharian," ungkap Gancar. Gancar mendorong pemkot agar kampung tangguh melibatkan masyarakat di tingkat RT, sebagai tanggung jawab menghindari cluster baru juga berada di level masyarakat. Selain itu, Pemkot dapat memberikan izin dengan keketatan dan menyediakan surat pernyataan untuk menjadi pengusaha tangguh yang siap menjaga dan mengingatkan protokoler kesehatan ke usaha dan konsumennya. Tak hanya itu, demi berkembangnya perekonomian masyarakat, pemkot dapat memberikan konsultasi dan support pelatihan dan tips bagaimana menjadi pengusaha tangguh di masa pandemi. "Agar masyarakat dan pelaku UMKM termotivasi, bisa memberi penghargaan kepada pengusaha/wirausaha tangguh serta memberikan solusi dan bantuan perdagangan online melalui BUMDes," pungkas Gancar. (mg-1/fer)

Tags :
Kategori :

Terkait