Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Sebuah harapan muncul di benak Ilham. Tapi, benar-benarkah perempuan itu Tini istrinya? Jangan-jangan dia perempuan lain yang terlihat seperti istrinya. Informasi tersebut disimpan Ilham sendiri. Dia tidak ingin memberikan harapan palsu kepada mertua atau ayahnya.
Sudah hampir setahun tidak ada kabar soal Tini. Kabar terakhir ya cerita dari teman yang menginformasikan pernah bertemu dia di Bandara Changi. Cuma itu. Beberapa waktu lalu Ilham sempat menelisik keberadaan Tini melalui media massa.
Mungkin ada berita soal penemuan mayat misterius atau korban kejahatan lain, yang kemungkinan itu adalah Tini. Semua nihil. Pernah ada kabar ada mayat perempuan tak dikenal mengapung di Bengawan Solo. Ciri-cirinya persis dengan Tini.
Tapi ketika ditelusuri ke rumah sakit di Bojonegoro, seperti disebut berita itu bahwa korban ditemukan di kota ini, ternyata bukan Tini yang sempat dia khawatirkan. Korban warga Bojonegoro.
Suatu hari ketika sedang bermalas-malasan di teras kos-kosan, ayahnya, Goufar, datang dan memberi kabar akan pindah rumah ke Solo. Lelaki berambut putih di bagian atas telinga itu mengaku baru saja diperkenalkan dengan perawan Solo dan akan menikahinya. “Orangnya mirip Tini,” kata Goufar seperti ditirukan Ilham.
Goufar mempersilakan Ilham ikut rombongan boyongan. Walau begitu, Goufar tidak memaksa. “Kalau kamu sempat, ayo ikut. Tapi kalau tidak, nggak apa-apa. Lain kali saja mampir kalau pas dolan ke Solo,” tambah Goufar.
Sebelum pindah ke Solo, Goufar menjual empat dari lima stan jualan daging sapinya. Disisakan satu yang ada dekat rumah kontrakan Ilham. “Stan itu diberikan kepadaku lengkap dengan seekor sapi yang dititipkan di rumah pemotongan hewan. Kabarnya Bapak membuka lagi usaha jagal di Solo. Sangat besar,” kata Ilham.
Seiring berjalannya waktu, Ilham mulai bisa melupakan Tini. Dia juga sudah jarang nyambangi mantan mertuanya. Ilham khawatir terbayang-bayang sosok Tini, yang memang tidak pernah lepas dari benaknya.
Suatu hari Ilham kehujanan sepulang kerja. Karena lupa membawa jas hujan, dia bermaksud berteduh. Kebetulan saat itu dekat dengan rumah mantan mertua. Dia akhirnya mampir bersilaturahmi sekalian berteduh.
Tapi, rumah yang ditinggali mantan mertuanya kosong. Kumuh. Sepertinya sudah lama tidak dirawat. Ilham bablas ke rumah di sampingnya. Ternyata pemilik rumah masih ingat Ilham.
Dari pemilik rumah itulah Ilham mengetahui bahwa mantan mertuanya sudah cukup lama pindah. Ke Solo. Tapi di mana tepatnya, orang tersebut mengaku tidak tahu karena tidak ikut ketika boyongan.
Orang tersebut juga mengucapkan turut prihatin atas hilangnya Tini, yang sampai detik itu belum ada kabarnya. Ilham sangat ingat, meski keluarganya sederhana, penampilan Tini tidak sesederhana kondisi ekonominya.
Parasnya yang cantik klasik dan penampilannya yang elegan menyiratkan seolah perempuan ini seolah muncul dari keluarga ningrat. Dari keluarga priyayi. Amat kontras dengan Ilham yang tampak benar-benar sangat sederhana. Lebih tapatnya, penampilannya sesuai dengan kondisi ekonominya yang pas-pasan.
Fakta ini sering jadi rasan-rasan di tempat kerja Ilham, lingkungan kontrakan, atau di mana pun pasangan ini bersosialisasi. “Walau begitu, Titin selalu bersikap sabar. Ini yang mengagumkan,” kata Ilham memuji istrinya.
Saking njegleknya penampilan Ilham dan Tini, mereka sering diperlakukan yang tidak semestinya. Dan, Ilham mesti berada pada posisi yang ter-bully. Contohnya ketika keduanya belanja di Royal Plaza.
Ketika itu mereka keluar dari lobi. Titin yang jalan di belakang—karena baru saja bertemu teman—mendadak terpeleset dan jatuh. Tiba-tiba ada yang nyeletuk, “Mas… kalau jalan juragannya jangan ditinggal. Jatuh tuh.” Ilham yang saat itu membawa kresek barang belanjaan hanya tersenyum. Masam. (bersambung)