Seks Di Pitrad Salah Siapa?

Sabtu 31-10-2020,06:31 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

  Masa pandemi aktivitas pitrad di Kota Surabaya ternyata masih beroperasi. Padahal kegiatan tersebut jelas-jelas dilarang Pemkot Surabaya sejak mewabahnya pandemi Covid-19 pada Februari 2020. Namun dalam praktiknya pelayanan pijat berikut servis esek-eseknya masih aman-aman saja. Seolah-olah pemilik usaha ini tidak mempedulikan ancaman penyebaran virus corona yang dikhawatirkan Pemkot Surabaya. Bahkan wilayah Surabaya sempat menjadi zona merah karena jumlah penderita corona yang relatif tinggi. Memastikan ketidaktaatan pengusaha pitrad terhadap kebijakan pemkot ini, Memorandum melakukan penelusuran.  Seperti di salah satu kawasan Jalan Mayjen Sungkono yang lokasinya berada di kompleks perkantoran dan ruko. Di tempat tersebut terang-terangan menyediakan pijat plus-plus dan tetap buka. Tentunya dengan mengelabuhi pembuat kebijakan. Larangan membuka usaha pitrad di masa pandemi, ternyata tidak digubris sejumlah pengusaha bisnis pijat tradisional dibumbui layanan seks ini. Lebih parah kebijakan Wali Kota Tri Rismaharini melalui Perwali 33/2020 ternyata hanya dianggap angin lalu. Sejumlah pitrad memilih buka, meski harus memakai cara kucing-kucingan layaknya Tom and Jerry agar terhindar dari razia petugas satpol PP. Selain itu, banyak terapis memilih mandiri menjajakan keahliannya serta menjual diri melalui online. Mereka tidak lagi terkontrol karena aksi yang mereka lakukan cenderung liar dengan memberi layanan di hotel, apartemen atau rumah kos. Baca Juga :

Menelusuri masih adanya praktik pitrad di Kota Surabaya, tim Memorandum mencoba mengungkap bisnis esek-esek berkedok pijat di masa pandemi. Sekitar pukul 22.00, sejumlah ruko terlihat masih buka. Tapi kondisi sekitar kompleks perkantoran nampak redup karena lampu penerangan jalan padam. Hanya akses ke pintu masuk serta perempatan blok saja yang lampunya menyala. Awal kendaraan diparkirkan di salah satu tempat perbelanjaan, lalu tim berjalan mencoba mengitari kawasan tersebut. Dalam pantauan terdapat tiga ruko berbisnis  massage yang masih buka dengan modus pintu depan rolling door dibuka sedikit dan hanya cukup untuk masuk dua orang. Menjaga agar ruko tutup, penggelola sengaja memadamkan lampu depan. Saat melintas di depan ruko berwarna biru, dua laki-laki memakai jaket hitam dan satunya memakai baju lengan panjang warna gelap menawarkan jasa pijat plus-plus. "Langsung masuk ae bos, pilih-pilih di dalam," ujar pria yang memakai jaket hitam sambil berdiri menghampiri tim. Memorandum mencoba menelisik ke dalam ruko. Terdapat ruang layaknya aquarium dilengkapi sofa merah serta 2 wanita terapis yang duduk-duduk sembari mengawasi para tamu yang datang. Bahkan seorang germo langsung menawari sambil menunjuk "itu loh bos pilih yang pakai baju putih masuk bos spesial, rego ne (harganya) Rp 350 ribu," katanya. Tim mencoba bertanya. "cuma ini aja ta?” tanya Memorandum. Si germo langsung menjawab. " Ya bos dua aja, masih ada tamu di atas," imbuhnya. Kemudian kami memutuskan keluar dengan alasan tidak cocok karena terapis tinggal dua orang sambil melihat ke tempat lain. Sekitar 200 meter dari ruko pertama, terlihat pria berkemeja mengobrol dengan tukang bakso, dan pria berbaju kerah abu-abu sambil bermain HP di depan. Saat posisi tim di depan ruko kedua, pria berkemeja itu menghampiri kami lalu mengajak masuk. Sesampainya di dalam ternyata pemandangan yang sama dengan ruko yang pertama. Juga ada ruangan mirip aquarium yang dilengkapi sofa dan tentunya para terapis yang siap melayani tamu. Untuk menarik perhatian, sang germo langsung menawari. "Itu Mas sampean lihat dulu, ayu-ayu Mas Rp 350 ribu ae Mas," katanya. Ketika tim melihat ke dalam ruangan sontak para terapis langsung melihat ke arah kami. Dalam pantauan terlihat ada seorang terapis yang menarik perhatian kami. Wanita ini memakai t-shirt hitam menggunakan hot pants serta berambut cokelat. Tim mencoba bernegosiasi namun harga masih saja tetap sama,  hingga kami setuju lalu membayar tarif di depan. Selanjutnya  kami dibawa ke lantai 2 di ruangan khusus. Tempat tersebut sangat nyaman dan dilengkapi kasur, bantal, guling, handuk, kamar mandi, tentunya ditemani wanita cantik berpakaian hitam yang membuat suasana semakin menggairahkan. Terlebih terapis mulai memijat sambil memperkenalkan dirinya  bernama Ferra (bukan nama sebenarnya). Di masa pandemi, ia menumpahkann keluh-kesahnya. Mulai sepi tamu, hingga kenapa dirinya tetap bertahan bekerja seperti ini. Hingga 9 bulan lamanya membuat penghasilan Ferra ikut menurun. "Saya pendatang bukan asli Surabaya. Tinggal di rumah kos di sekitar sini. Ada juga teman saya tinggal di ruko. Kebetulan saya masuk shift dua mulai kerja pukul 19.00 hingga pukul 00.00," terangnya. Baru lima menit memijat, Ferra mendadak menghentikan pijatannya lalu menanggalkan pakaian minimnya.  "Udah Mas langsung ae pegel aku mijet," ucap Ferra yang kondisinya sudah telanjang bulat. Terapis bertubuh molek ini sepertinya terburu-terburu ingin segera mengakhirinya. Sebelum meninggalkan tempat, kami sempat menanyakan apakah ada razia atau tidak. Wanita ini  menjawab dengan polos. "Iya ada cuma saya tidak tahu masalah itu, di depan itu ada pemiliknya yang stand by," katanya. Terkesan pitrad atau sekadar pijat refleksi hanyalah kedok menutupi layanan esek-esek, tim memastikan sarana seks masih laris manis meski Pemkot Surabaya meminta kegiatan usaha rumah hiburan, pitrad, rumah karaoke wajib tutup selama masa pandemi. Di tempat terpisah, Memorandum juga menelusuri tempat pijat di daerah Ruko Kalibokor, Gubeng, begitu juga di Jalan Ngagel. Namun semuanya sudah tutup. Pemiliknya sengaja menulis di depan pintu rolling door "Tutup Selama Pandemi". Tim berusaha bertanya kepada seorang pria yang sedang menelepon di samping tempat pijat. "Selama pandemi memang tutup mas, sudah lama," jawab pria itu. Meski tempat kerjanya tutup, ternyata ada terapis tetap menjalankan bisnisnya secara individu. Mereka menggunakan sarana media sosial (medsos) untuk menjual dirinya. Tim berusaha menghubungi seorang terapis yang berlokasi di Jalan Jawa, Intan (bukan nama sebenarnya) mengaku jika selama terbit perwali 33 tempatnya bekerja tidak beroperasi. Berdalih agar dapur tetap mengepul, Intan mengaku terpaksa banting setir menjadi penjual baju dan makanan secara online. "Bisnis online Mas," kata Intan. Dalam obrolan via MiChat, awalnya perempuan berambut panjang dan berkulit putih ini, memasang tarif Rp 400 ribu per jam. Hasilnya, Sinta mau dan sepakat bertemu di salah satu hotel daerah Pasar Besar. Sinta sudah menunggu di kamar yang dijanjikan dan siap memijat. Sebagai terapis bokingan, ibu satu anak ini mengaku dirinya meraup keuntungan lebih besar. Karena tidak perlu repot membayar calo. Hanya bayar sewa kamar.  "Saya pindah-pindah hotel. Tiga hari sekali pasti pindah hotel," ungkap Sinta. Di tengah-tengah obrolan itu, Sinta merayu akan memberikan layanan plus, dengan syarat tim memberi tambahan tarif Rp 50 ribu.  Begitu wartawan koran ini menyetujui, tanpa disuruh Sinta langsung membuka pakaiannya hingga tanpa sehelai benang di tubuhnya. Sinta menunjukkan kelihaiannya sebagai terapis plus-plus melayani wartawan koran ini dengan hot. Keadaan tidak berbeda jauh dengan panti pijat panti pijat yang menempati rumah dengan area parkir cukup luas di wilayah Petemon. Di depan gerbang seorang pria paruh baya bertugas sebagai penjaga gerbang dan tukang parkir meminta Memorandum langsung masuk. "Langsung masuk Mas, parkir sebelah kiri dan jangan dikunci motornya," katanya. Sebelum memasuki rumah, Memorandum diminta mencuci tangan menggunakan sabun yang telah disediakan. Di lobby, disambut resepsionis pria dan dipersilahkan memilih terapis sesukanya. "Mau terapis pijatan lembut atau keras Mas? Silahkan dipilih," ucapnya. Memorandum yang datang berdua memilih dua terapis pijatan lembut, keduanya sebut saja Vika dan Rosa. Kami diarahkan menuju lantai 2 yang terdapat bilik-bilik pijat. Memasuki bilik berbeda menunggu terapis datang. tidak menunggu kedua terapis yang dipesan datang. Keduanya memakai kaus hitam dan celana panjang, bermasker dan tutup kepala. Terapis mempersilakan tamu untuk menanggalkan seluruh pakaian sembari memberikan handuk dan celana dalam khusus pijat. "Ini handuknya dan ganti celana dalamnya ya mas," ujar Rosa. Sembari menunggu tamu berganti pakaian, Rosa menyiapkan peralatan terapinya. Kemudian mempersilakan tamu mengambil posisi tengkurap di kasur. "Silakan tengkurap, saya pijat belakangnya dulu," katanya. Rosa meminta izin naik dan duduk di atas punggung memulai pijatannya. "Permisi, saya di atas," katanya. Pijatan lembut di punggung tanpa krim mulai terasa memanjakan tubuh sembari diselingi obrolan ringan. Rosa mengaku berusia 37 tahun asal Tulungagung, dan cukup lama berprofesi sebagai terapis. Dia juga dikaruniai 3 orang anak yang semuanya berada di kampung halaman. Wanita single parents ini mengakui sulitnya mencari pekerjaan terlebih dengan tuntutan sebagai tulang punggung keluarga. Pihaknya mengaku bahwa tempatnya bekerja ini sempat tutup selama tiga bulan di awal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yaitu sejak Maret hingga Mei. "Di sini kerja libur kerja libur, apalagi kemarin sempat tutup tiga bulan," akunya . Ibu tiga anak ini mencoba memberi rangsangan kepada tamu, dengan mendaratkan tangannya di atas titik sensitif. Berharap dapat membantu menyalurkan hasrat seksual tamu untuk meraup tip yang cukup besar. Berbeda bilik, Vika, wanita berumur kepala tiga ini mengatakan tempatnya bekerja beroperasi kembali sejak Juni lalu. Menurut pengakuannya, beberapa pekan terakhir buka dari pukul 09.00 sampai 18.00. "Awalnya beberapa hari buka terus tutup beberapa hari, buka lagi tutup lagi. Sekarang buka terus dari pukul 09.00 sampai pukul 18.00," katanya. Perempuan satu ini mengaku pendapatan di masa pandemi berangsur menurun. Dirinya lebih mengandalkan pendapatan dari uang tips yang diberikan oleh tamu. "Saya punya apartemen di Gunawangsa Tidar, selain terapis saya juga jadi sales melobi tamu untuk memberikan tip cukup besar. Kalau hasrat seksual tamu bisa tersalurkan dengan servis saya, ya uang tipnya lebih besar," ungkap Vika. (mg2/rio/fdn/mg1/day)   Artikel ini telah tayang di edisi cetak Koran Memorandum Edisi 28 Oktober 2020 Baca edisi cetak Koran Memorandum Edisi 28 Oktober 2020  
Tags :
Kategori :

Terkait