Oleh: Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Pelaksanaan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) untuk anak didik sekolah dasar (SD) dan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) untuk anak didik sekolah menengah pertama (SMP) tuntas pekan ini.
Seharusnya mereka yang mengikuti ujian—juga para orang tua/wali murid—bisa tersenyum lega. Satu tugas penting untuk mencapai impian memperoleh sekolah yang diinginkan sudah terlewati.
Tapi, faktanya tidak demikian. Kebanyakan dari mereka jadi murung. Bahkan kecewa. Juga bingung. Sebab, tahun ini sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang dipakai mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018, yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Dalam peraturan baru itu ada tiga jalur: jalur zonasi, jalur prestasi, dan perpindahan tugas orang tua/wali, serta jalur kemitraan.
Jalur zonasi atau dalam bahasa lain sekolah lebih dekat dengan tempat tinggal (domisili) peserta didik diberi persentase tinggi. Hingga 90 persen. Sedang sisanya, 5 persen untuk jalur prestasi atau perpindahan tugas orang tua/wali. Itu pun masih terbagi lagi menjadi 2,5 persen untuk prestasi akademik dan 2,5 persen untuk prestasi nonakademik.
Lima persen terakhir untuk jalur kemitraan. Jalur untuk menampung peserta didik yang tidak mampu hingga harus dibuktikan dengan keikutsertaan dalam program penanganan keluarga tidak mampu dari pusat atau pemda (KIP, PKH, dan KJP).
Kekecewan mereka sangat berdasar. Terutama, bagi mereka yang terbilang harus masuk jalur zonasi. Sebab, pemberlakuan aturan baru itu kurang sosialisasi. Kurang informatif kepada anak didik dan wali murid.
Demikian pula sosialisasi kepada sekolah-sekolah, juga minim. Buktinya, banyak sekolah tidak menginformasikan Permendikbud 51/2018 jauh-jauh hari. Akibatnya, mereka (anak didik dan orang tua/wali) jadi kelabakan untuk mencari sekolah impian. Terutama, untuk sekolah negeri. Sekolah milik pemerintah.
Artinya jalur zonasi yang pendekatannya memakai acuan kecamatan untuk PPDB SMP, dan kelurahan untuk PPDB SD, jadi tidak cukup relevan bisa mereka terima. Buktinya, sebaran SMP negeri di Surabaya (sebagai contoh) belum merata dalam satu kecamatan. Ada satu kecamatan memiliki tiga SMP negeri. Ada yang dua SMP negeri. Parahnya, ada yang hanya satu SMP negeri sehingga menyulitkan pilihan bagi anak didik.
Fakta itu lebih diperparah jika dilihat dari faktor sarana dan prasarana yang dimiliki SMM-SMP negeri tersebut. Masih tidak merata!
Nah, dalam kondisi seperti itu, keputusan menggunakan zonasi dengan acuan kecamatan patut dipertanyakan. Bahkan, belumlah pantas dilakukan tahun ini, meski tujuannya cukup bagus. Dekat dengan rumah hingga irit biaya transportasi. Tidak melelahkan. Bisa ditempuh dalam waktu cepat.
Justru pemerintah terlihat lebih bijaksana jika tolok ukur zonasi dengan acuan wilayah seperti wilayah Surabaya Barat, Surabaya Timur, Surabaya Selatan, Surabaya Utara, dan Surabaya Pusat yang dipakai. Relevansi dan urgenitasnya lebih bisa dipahami secara utuh, termasuk juga oleh sekolah-sekolah swasta. (*)